REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, Arif Satrio Nugroho, Febrianto Adi Saputro
Pihak Istana Kepresidenan kembali bersuara mengenai isu reshuffle atau perombakan kabinet yang sempat diangkat sendiri oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang kabinet paripurna Juni lalu. Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyampaikan, para menteri dan kepala lembaga langsung menunjukkan perbaikan kinerja tak lama setelah Presiden Jokowi menyampaikan ancamannya soal reshuffle.
Berkaca dari perbaikan kinerja ini, Pratikno beranggapan isu reshuffle kini menjadi tak relevan. Menurutnya, sepanjang kinerja para menteri tetap bagus dan bisa terus diperbaiki, maka Presiden Jokowi tidak akan melakukan reshuffle seperti yang sempat disampaikan.
"Dalam waktu singkat kita melihat progress. Antara lain serapan anggaran yang meningkat dan program mulai berjalan. Jadi kalau progress-nya bagus ngapaian di-reshuffle? Dengan progress yang bagus ini, isu reshuffle tidak relevan, sejauh bagus terus," jelas Pratikno di kantornya, Senin (6/7).
Pratikno berharap kinerja para menteri ini terus membaik. Terutama terkait implementasi program pemulihan ekonomi dan pengendalian Covid-19, serta serapan anggaran yang terus digenjot.
"Tentu saja kalau bagus terus, nggak relevan lagi reshuffle. Jadi jangan ribut lagi reshuffle berjalan bagus. Kita fokus untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan dan ekonomi," kata Pratikno.
Presiden, ujar Pratikno, sejak awal Februari 2020 lalu sudah menempatkan penanganan kesehatan Covid-19 menjadi prioritas. Di samping itu, permasalahan ekonomi yang menjadi dampak ikutan dari Covid-19 juga ikut ditangani. Hal ini, ujar Pratikno, menuntut seluruh menteri dan kepala lembaga yang berperan sebagai pembantu Presiden harus bisa bekerja cepat untuk menyelesaikan masalah yang ada.
"Nah, memang ya karena permasalahan mungkin juga karena kantor yang kemudian sempat, apa, tidak sepenuhnya optimal waktu transisi awal itu, jadi pak presiden merasa bahwa mestinya lembaga-lembaga pemerintahan terutama sekali kabinet, bisa bekerja lebih maksimal dengan kinerja yang lebih baik," ujar Pratikno.
Kondisi ini lah yang menurut Pratikno, membuat Presiden Jokowi akhirnya menegur para menteri dan kepala lembaga dalam sidang kabinet paripurna Juni lalu. Teguran terutama berkaitan dengan permasalahan ekonomi, termasuk bantuan sosial yang harus segera disalurkan dengan optimal.
"Juga program pemerintah yang membantu belanja masyarakat, meningkatkan daya beli harus segera dipercepat, serapan anggaran harus ditingkatkan. Itulah beliau berikan teguran keras pada sidang kabinet paripurna yang lalu," jelas Pratikno.
Wacana perombakan kabinat menguat sejak pekan lalu, yakni ketika Presiden mengancam menteri-menteri yang dianggap tidak bisa bekerja cepat dan luar biasa menangani pandemi Covid-19. Penanganan yang dimaksud tak hanya dari aspek kesehatan, namun juga kaitannya dalam perekonomian, dan penyaluran bantuan sosial.
Pernyataan Jokowi soal perombakan kabinet ini disampaikan dalam sambutan Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Kamis (18/6) lalu. Dalam sambutannya, presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme 'extraordinary' dalam penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang tak normal sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.
Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Dari angka tersebut, baru 1,53 persen yang sudah terserap.
Jokowi meminta menteri terkait untuk segera melancarkan belanja sektor kesehatan seperti pembayaran tunjangan dokter dan tenaga medis. Jokowi juga menyinggung soal penyaluran bantuan sosial yang terkesan lambat. Ia meminta menekankan bahwa penyaluran bantuan harus bisa menyentuh 100 persen masyarakat yang membutuhkan.
Di bidang ekonomi, Jokowi juga meminta agar stimulus bisa segera direalisasikan. Khususnya stimulus untuk pelaku UMKM. Jokowi meminta agar bantuan ini segera diberikan tanpa menunggu pelaku ekonomi tumbang lebih dulu.
Peneliti Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro menyebut partai harus menerima bila menterinya kena reshuffle. Partai juga harus menyiapkan kader sebaik mungkin menyiapkan bila kadernya dibutuhkan Jokowi.
"Harusnya parpol lain menyahuti. Bila ada parpol yang jatah menterinya dikurangi, ya parpol harus terima," kata Siti saat ditanya terkait isu reshuffle kabinet yang dilontarkan Jokowi, Ahad (5/7).
Dalam menanggapi Jokowi, PDI Perjuangan selaku partai pengusungnya telah menyatakan bahwa reshuffle merupakan hak prerogatif Jokowi. Bukan hanya PDIP, Siti Zuhro menilai, dalam hal evaluasi menteri, parpol pendukung lain juga harus rela bila kadernya di kabinet dievaluasi kinerjanya.
"Ya bagus. Berarti partai pendukung mendukung beneran. Paling tidak partai menyediakan orang yang kompeten untuk posisi menteri," kata Siti.
Siti menilai, teguran Jokowi kepada jajaran menterinya pada rapat kabinet lalu masih berpotensi berujung pada reshuffle kabinet. Reshuffle kabinet menjadi suatu keniscayaan jika melihat kecenderungan orang nomor satu di pemerintahan itu yang ingin memenuhi harapan masyarakat.
"Jokowi sudah tahu rakyat tidak puas pada pemerintah. Rakyat bahkan sedang mempertanyakan apa kerja pemerintah sekarang ini sudah periode kedua, jadi Presiden tidak perlu pakewuh (sungkan)," ucap Siti.
Sabtu (4/7), Indonesia Political Opinion (IPO) merilis hasil survei terkait kepuasan publik terhadap kinerja menteri Kabinet Indonesia Maju di masa pandemi Covid-19. Hasilnya Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly jadi menteri yang paling diharapkan publik untuk direshuffle.
"Yang paling muncul pertama adalah bukan nama yang asing yaitu Yasonna Laoly Menteri Hukum dan HAM ada 64,1 persen dinyatakan paling layak dilakukan reshuffle," kata Direktur IPO Dedi Kurnia Syah dalam diskusi daring.
Disusul Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dengan 52,4 persen, Lalu Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziah 47,5 persen, Menteri Agama Fahrul Razy 40,8. Kemudian diikuti Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dengan 36,1 persen, Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan 33,2 persen,
"Menteri Sosial Juliari Batubara 30,6 persen, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki 28,1 persen, Menteri Pemuda dan Olah Raga Zainudin Amali 24,7 persen, Menteri BUMN Erick Tohir 18,4 persen, dan posisi kesebelas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim 13,0 persen," paparnya.
Dedi menjelaskan, temuan menunjukan dari nama-nama yang muncul yang paling diharapkan publik untuk direshuffle justru adalah orang-orang yang dikenal dekat dengan Presiden. Sebut saja seperti Yasonna yang merupakan rekan satu partai dengan Jokowi, kemudian Luhut yang juga dikenal dekat dengan Jokowi.
"Jangan sampai kedekatan itu membuat mereka tidak begitu berupaya lebih baik karena merasa aman dari kritik dan koreksi presiden," ungkapnya.
Survei dilakukan pada 8-25 Juni 2020. Survei tersebut melibatkan 1350 responden dan digelar di 30 provinsi. Adapun metode yang dilakukan yaitu Wellbeing Purposive Sampling (WPS), yaitu model penentuan responden untuk mengukur indeks persepsi publik.
"Jadi responden itu tidak menjawab berdasarkan kedekatan atau berdasarkan popularitas personal, tetapi responden menjawab berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki terkait kebijakan kebijakan dan aktivitas yang dilakukan oleh para anggota kabinet," jelasnya.
IPO juga merilis survei tentang kinerja pemerintahan. Sebanyak 58,6 persen responden menyatakan puas dengan kinerja pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19.
"Tapi kepuasan ini tidak tunggal, artinya tidak diberikan kepada pemerintah pusat saja karena 58,6 persen ini adalah kepuasan publik yang ditujukan kepada seluruh pemerintahan dari pusat, kemudian dari pemerintah daerah dan sampai ke RT RW," kata Dedi Kurnia Syah.
Sementara kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah pusat hanya di angka 32,5 persen dari 58,6 persen di atas. Lalu angka kepuasan publik yang tertinggi ada di pemerintah daerah dengan angka 41,9 persen.
"Kemudian disusul kepuasan kepada petugas RT RW ada 16 persen kemudian pemerintah desa 34 persen, kemudian pemerintah kecamatan ada 6 persen dan pemerintah kabupaten yang paling rendah hanya di angka 0,2 persen," jelasnya.
Menurutnya angka kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah yang hanya 58,6 dinilai rendah. Angka tersebut mengalami penurunan jika dibanding survei sebelumnya di angka 59,1 persen.
"Artinya memang ada semacam kekecewaan publik yang kemudian dipersepsikan oleh Presiden sebagai kekecewaan kepada kabinet padahal itu sebenarnya kekecewaan kolektif pemerintah," jelasnya.