REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus mendorong terwujudnya kemandirian dan peningkatan daya saing industri farmasi dalam negeri. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 6 tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan yang menegaskan perlu segera diwujudkannya kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di bidang farmasi.
Maka Kemenperin menerbitkan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16 Tahun 2020 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan Nilai TKDN Produk Farmasi. “Peningkatan utilisasi TKDN merupakan kunci utama agar Indonesia dapat menjadi negara yang mandiri di sektor farmasi, khususnya dalam hal produksi bahan baku obat,” ujar Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, pada Senin, (6/7).
Ia melanjutkan, penerapan TKDN bagi industri farmasi dinilai sebagai upaya memacu serta merangsang pelaku industri membangun industri bahan baku obat atau Active Pharmaceuticals Ingredients di dalam negeri. “Tentunya, dengan potensi pasar dalam negeri yang sangat besar sekaligus merupakan sebuah peluang menarik investor, agar mereka mengembangkan bahan baku obat di Indonesia,” ujarnya.
Menurut dia, pasar di dalam negeri sangat potensial bagi berbagai produk farmasi dengan kandungan lokal tinggi. Sebab bisa menjadi preferensi dalam pengadaan melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Maka dalam Permenperin 16/2020 tersebut, disebutkan tata cara penghitungan nilai TKDN produk farmasi bukan lagi menggunakan metode cost based, tetapi metode processed based. Pertimbangannya, metode ini lebih sesuai diterapkan di industri farmasi, karena sifat industri tersebut yang spesifik dengan formulasi sangat banyak dan beragam, serta berdasarkan hasil riset dan pengembangan (R&D) yang panjang dan menggunakan biaya besar.
Dengan processed based, berarti ada penghargaan atas upaya riset dan pengembangan yang dilakukan oleh pelaku industri farmasi. Metode ini dapat mempertahankan kerahasiaan formulasi yang dimiliki perusahaan tanpa meninggalkan kaidah dan tujuan yang ingin dicapai dari pemberlakuan TKDN produk farmasi ini.
Menperin menyebutkan, penghitungan nilai TKDN produk farmasi berdasar processed based dilakukan dengan menggunakan pembobotan terhadap kandungan bahan baku atau Active Pharmaceuticals Ingredients sebesar 50 persen. Ini terdiri dari proses penelitian dan pengembangan sebesar 30 persen, proses produksi sebesar 15 persen, serta proses pengemasan sebesar lima persen.
Penghitungan nilai TKDN produk farmasi itu diharapkan dapat mendorong pengembangan industri bahan baku obat (Active Pharmaceuticals Ingredients), meningkatkan riset dan pengembangan obat baru. “Selain itu, dengan produksi sediaan obat baru serta bahan baku yang berasal dari herbal dapat mengurangi impor bahan baku obat dan mendorong kemandirian bangsa di sektor kesehatan,” tegasnya.
Agus mengungkapkan, kemampuan industri hilir farmasi dalam negeri saat ini didukung oleh 240 perusahaan yang didominasi 212 perusahaan swasta nasional. Kemudian 24 perusahaan multinational company (MNC), dan 4 perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pada umumnya perusahaan-perusahaan tersebut bergerak dalam formulasi obat atau produk obat jadi. “Dengan kekuatan ini, kebutuhan obat nasional sebesar 80 hingga 90 persen sudah mampu dipenuhi, sisanya merupakan obat paten dan berteknologi tinggi yang masih harus diimpor,” jelasnya.
Kemenperin mencatat, pada kuartal I 2020, industri kimia, farmasi dan obat tradisional mampu tumbuh paling gemilang sebesar 5,59 persen. Kinerja positif ini diraih di tengah dampak pandemi Covid-19. Sebab, industri tersebut merupakan salah satu sektor yang masih memiliki permintaan cukup tinggi di pasar.
“Dari banyaknya sektor industri yang terimbas, ada beberapa sektor yang tetap memiliki demand tinggi sehingga memperkuat neraca perdagangan,” kata Agus. Di samping itu, industri kimia dan farmasi juga menjadi sektor manufaktur yang menyetor nilai investasi cukup signifikan pada kuartal I 2020, mencapai Rp 9,83 triliun.