Selasa 07 Jul 2020 05:31 WIB

Menikah dengan Suami yang Diragukan Kehalalan Gajinya

Para ulama berbeda pendapat dalam menyikapi gaji yang diragukan kehalalannya.

Red: Ani Nursalikah
Menikah dengan Suami yang Diragukan Kehalalan Gajinya
Foto: ANTARA/nova wahyudi
Menikah dengan Suami yang Diragukan Kehalalan Gajinya

REPUBLIKA.CO.ID, 

Pertanyaan:

Baca Juga

Assalamu ‘alaikum wr. wb.

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang saya hormati, saya ingin bertanya tentang dua hal. Pertama, bagaimana hukumnya gaji seorang yang diterima kerja dengan pertimbangan 50 persen kemampuan, 50 persen uang (artinya jika tidak ada uang tidak akan diterima)? Kedua, bagaimana jika terlanjur menikah dengan suami yang masih diragukan status gajinya (halal/haram) seperti kasus di atas? Syukran.

Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Efod Mariani (disidangkan pada Jumat, 14 Rajab 1437 H / 22 April 2016 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus-salam wr. wb.

Efod Mariani yang semoga dirahmati Allah SWT, sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kepercayaan saudari kepada Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah untuk menjawab pertanyaan dan problem yang saudari alami. Berikut ini jawaban kami terhadap dua pertanyaan saudari.

Pertama, tentang hukum gaji seseorang yang diterima bekerja dengan pertimbangan 50 persen berdasarkan kemampuan (kualifikasi) dan 50 persen berdasarkan uang (sogokan), sehingga apabila tidak ada uang, maka orang tersebut tidak bisa diterima bekerja.

Dalam Islam kasus seperti ini termasuk kategori sogok-menyogok (penyuapan) atau risywah yang hukumnya dilarang, sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi saw.;

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي [رواه أبو داود و الترميذي وابن ماجة وأحمد].

“Dari Abdullah bin ‘Amru [diriwayatkan] ia berkata, “Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi uang sogokan dan orang yang menerima uang sogokan” [HR. Abu Dawud, at-Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad].

Larangan sogok menyogok atau risywah dalam Islam, tentu memiliki tujuan dan hikmah yang sangat penting, karena risywah memiliki dampak negatif dalam kehidupan sosial manusia. Di antara dampak negatif risywah adalah, pertama, dapat merugikan pihak lain yang memiliki kemampuan atau skill dan sifat amanah dalam bekerja karena terhalang oleh pihak lain yang memiliki kemampuan finansial untuk melakukan risywah.

Kedua, dapat menimbulkan budaya kerja dan kompetisi yang tidak sehat (tidak harmonis). Ketiga, dapat merusak sistem perekrutan dalam proses penerimaan pegawai, dan lain sebagainya. Dengan demikian, orang yang melakukan dan menerima risywah termasuk berdosa.

Namun terkait dengan gaji yang diperolehnya, para ulama berbeda pendapat dalam menyikapinya. Sebagian berpendapat gaji yang diperoleh dengan cara yang tidak benar (risywah) maka hasilnya pun juga tidak halal atau dikategorikan sebagai syubhat.

Sebagian lagi berpendapat risywah merupakan bentuk kesalahan dan dosa, namun gaji yang diperolehnya tetap halal, asalkan jenis pekerjaan yang dijalankan merupakan pekerjaan yang diperbolehkan oleh agama dan bukan pekerjaan yang dilarang seperti bekerja di pabrik minuman keras atau sejenisnya. Namun, gaji tersebut harus dibersihkan dengan membayar zakat dan sedekah, karena salah satu fungsi zakat adalah untuk membersihkan harta.

Dalam fikih anti korupsi yang diputuskan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dijelaskan risywah (menyogok) merupakan salah satu bentuk korupsi yang dilarang oleh agama, karena itu harus dijauhi dan ditinggalkan. Namun, jika seseorang tidak tahu sebelumnya bahwa apa yang dilakukannya itu termasuk dosa dan dilarang oleh agama, maka hendaknya ia bertaubat dari kesalahan yang telah dilakukannya serta rajin berzakat, sedekah maupun berinfak untuk mensucikan hartanya dari unsur-unsur syubhat dan harta yang tidak bersih.

Status Pernikahan

Sedangkan terkait dengan pertanyaan kedua tentang status pernikahan dengan suami yang masih diragukan status penghasilannya, apakah halal ataukah haram, kami berpendapat pernikahan tetap sah dan tidak mempengaruhi legalitas pernikahan seseorang. Bahkan pasangan suami-istri seharusnya menumbuhkan sikap saling peduli, saling menjaga, saling mengingatkan dan menasehati untuk menjaga keluarga dan anak keturunannya dari segala sesuatu yang haram dan dilarang oleh agama, sehingga dia dan keluarganya terjaga dari siksa api neraka. Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ [التحريم (66): 6]

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari (siksa) api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” [QS. at-Tahrim (66): 6]

Menjaga diri dan keluarga dari siksa neraka antara lain dilakukan dengan saling memberikan masukan dan nasehat untuk tetap sabar dalam kebaikan dan ketakwaan sebagaimana spirit yang diajarkan dalam surat al-‘Ashr, dan bukan dengan saling mendiamkan atau menumbuhkan sikap saling curiga dan penuh prasangka, termasuk dalam urusan sumber penghasilan suami-istri. Sharing atau bertanya dengan cara yang baik merupakan salah satu cara terbaik untuk memperjelas status pekerjaan suami, serta memberikan masukan atau solusi terbaik demi menjaga keutuhan rumah tangga serta menepis prasangka (su’uzzhan) terhadap sesuatu yang belum pasti kebenarannya.

Wallahu A‘lam bish-shawab

https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/07/06/menikah-dengan-suami-yang-diragukan-kehalalan-gajinya/

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement