REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dini Suryani mengatakan, tindakan korupsi dari politik dinasti sangat berpotensi terjadi karena fungsi pengawasan atau check and balances berjalan buruk bahkan mandek. Sebab, roda pemerintahan diisi orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan.
"Tanpa kekerabatan pun, kongkalikong antarpolitisi sangat dimungkinkan, apalagi melibatkan hubungan keluarga," ujar Dini kepada Republika, Senin (6/7).
Ia menyebutkan, sudah banyak kasus korupsi yang terbukti melibatkan kekerabatan, seperti Banten, Kutai Kartanegara, Cimahi, dan Klaten. Kasus yang paling baru datang dari Kabupaten Kutai Timur, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati sekaligus Ketua DPRD-nya, yang merupakan suami istri, pada Kamis lalu.
Dini mengatakan, seharusnya legislatif hadir untuk mengawasi eksekutif, sedangkan yang terjadi keduanya justru melakukan kerja sama melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Ia mengutip keterangan pihak KPK, sementara ini tampak bahwa Bupati Kutai Timur (suami) bertugas menjamin tidak adanya pemotongan anggaran proyek, sedangkan ketua DPRD (istri) mengintervensi penunjukan langsung proyek.
Menurut Dini, penyebab utama politik dinasti menjamur di Indonesia ialah mandeknya fungsi partai sebagai sarana rekrutmen politik yang objektif. Anggota keluarga dinasti yang telah memiliki modal/privilege atau finansial/popularitas dipandang lebih potensial menang dalam pemilihan dibandingkan orang biasa.
Ia melanjutkan, hal tersebut didukung oleh sistem pemilu di Tanah Air yang sangat fokus pada personal dibandingkan program. Diperkuat lagi dengan tidak adanya aturan yang melarang anggota keluarga pejabat politik maju dalam kompetisi politik.
Dini menuturkan, beberapa tahun lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menolak pasal antipolitik dinasti yang sebenarnya bisa menjadi penghalang menjamurnya politik kekerabatan yang hari ini sangat subur. Larangan politik kekerabatan sebenarnya sudah tercantum dalam UU Pilkada Nomor 8 Tahun 2015, tetapi digugat ke MK dan dikabulkan karena dinilai melanggar hak konstitusional warga negara untuk dipilih dalam politik.
"Sebab lain adalah pemilih kita yang masih permisif dengan politik uang, yang banyak dilakukan oleh para kandidat dari dinasti politik, karena mereka punya modal finansial yang kuat," kata Dini.
Ia menyebutkan, pada 2019 lalu, Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI mengadakan survei kepada masyarakat di 34 provinsi. Hasilnya, sebanyak 47 persen responden setuju terhadap praktik politik uang.