REPUBLIKA.CO.ID, oleh Mimi Kartika, Dian Fath Risalah
Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati dan Ketua DPRD Kabupaten Kutai Timur yang berstatus suami istri, membuktikan dinasti politik berkaitan erat dengan praktik korupsi. Menurut pakar otonomi daerah, Prof Djohermansyah Djohan, banyak terjadi kasus korupsi di daerah yang melanggengkan dinasti politik atau politik kekerabatan.
"Banyak kasus lah, perilaku koruptif meningkat dengan ada keluarga yang memegang dinasti politik ini," ujar Djo saat dihubungi Republika, Senin (6/7).
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu menyebutkan, pihaknya pernah mendata dalam kurun waktu 2010-2014, terdapat 61 daerah menerapkan praktik politik dinasti. Hasil penelitian baru-baru ini menyebutkan, jumlah itu meningkat, sehingga ada 117 daerah dengan kekuatan dinasti politik.
"Bahwa sekarang itu terakhir naik menjadi 117, jadi dari data awal saya 61 sekarang sudah jadi 117, jadi 21 persen dari jumlah daerah otonom kita," kata Djo.
Ia menjelaskan, perilaku korupsi merupakan salah satu bahaya yang kerap kali terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan ketika politik dinasti berkuasa. Sebab, dengan kekuasaan atau kewenangan masing-masing dapat saling mengamankan dan memberikan dukungan tindakan korupsi.
Apalagi, dalam kasus dugaan korupsi di Kutai Timur, tersangkanya adalah Bupati sebagai eksekutif dan Ketua DPRD yang seharusnya bertanggung jawab dalam mengawasi kinerja kepala daerah beserta jajarannya. Dalam kasus tersebut sudah pasti tidak ada fungsi checks and balances di pemerintahan.
"Karena kalau dia punya keluarga karib, kerabatnya punya urusan-urusan, lalu dia gunting itu semua syarat-syarat, semua ketentuan yang merugikan dia," kata Djo.
Selain itu, lanjut Djo, dalam beberapa studi, kinerja pemerintahan daerah yang dikuasai politik dinasti menyebabkan daerah tersebut tidak banyak kemajuan dan tidak ada perbaikan. Misalnya, kemiskinan meningkat dan tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap tingkat kesejahteraan warganya.
"Maraknya korupsi berkembang menjadi-jadi, lalu kemudian tata kelola pemerintahan tidak menjadi baik, kemudian peningkatan kemiskinan masyarakat juga tidak terjadi secara signifikan," ucap dia.
Ia menyebutkan, dinasti politik yang paling fenomenal terjadi di Banten. Menurut Djo,
mantan Gubernur Banten yang menjabat dua periode, Ratu Atut Chosiyah memiliki jaringan kekuasannya di pemerintahan mulai dari keluarga yang menjadi pemimpin daerah kabupaten/kota, juga kerabatnya menduduki jabatan strategis birokrasi.
Tak hanya itu, hubungan kerabat Ratu Atut juga menjangkau sektor ekonomi dengan sejumlah proyek yang dijalankan. Kemudian juga kekuasannya mencapai organisasi kemasyarakatan yang strategis. Sehingga tak ada pihak lain yang mampu melawan.
"Siapa yang bisa melawan mereka. Kalau di daerah, siapa yang berani melawan bupati/wali kota yang menerapkan politik dinasti. Provinsi juga berat, apalagi di kabupaten/kota yang jauh, tidak ada," kata Djo.
Dengan demikian, tak ada sistem pengawasan yang berjalan dari organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM). Sebab, kekuatan mereka sangat besar dalam membangun dinasti politik yang menjangkau semua lini.
"Kalau ada LSM, NGO, mengkritik itu bisa dilawan oleh mereka, mereka (LSM) yang mengontrol tetapi mereka yang dikendalikan. Karena dia (politik dinasti) powernya besar," ucap Djo.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) itu mengatakan, jika praktik politik dinasti masih terus terjadi di masa mendatang, maka demokrasi melalui pilkada langsung akan dibajak oleh kelompok elite politik. Masyarakat maupun penantang kandidat kepala daerah sekalipun tidak bisa mengalahkan mereka karena sulit memenangkan kontestasi.
Ia mendorong, ketentuan antipolitik dinasti atau pasal yang mencegah orang mendapatkan kekuasaan hanya untuk kepenting kelompok semata, diatur dalam peraturan perundangan-undangan. Dengan demikian, ia berharap, calon-calon kepala daerah dapat memiliki kesempatan yang sama menjadi pemimpin daerah berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan kekuatan politik kekerabatan.
Ketua KPK Firli Bahuri mengatakan, penangkapan Bupati Kutai Timur Ismunandar dan Ketua DPRD Kutim, Encek Unguria R Firgasih yang merupakan istri dari Ismunandar membongkar relasi korupsi dan nepotisme para pejabat yang menduduki jabatan. Pada Jumat (3/7), KPK menetapkan keduanya bersama lima orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap proyek infrastruktur.
"Ini membuktikan bahwa pengaruh kuat nepotisme terhadap korupsi. Kutai Timur contoh nyata nepotisme telah menyebabkan korupsi yang merugikan keuangan negara sangat terang benderang dan betapa lancarnya korupsi di Kutai Timur," kata Firli, Senin (6/7).
Firli menjelaskan, politik dinasti berawal dari proyek yang disusun Pemkab Kutai Timur yang tentunya tak lepas dari kekuasan Ismunandar. Kemudian, disetujui Ketua DPRD yang merupakan istri dari Ismunandar. Lalu dicarikan rekanan yang merupakan tim sukses saat Pilkada Bupati Kutai Timur.
"Dan proyek dikerjakan Dinas PUPR dan Dinas Diknas. Bupati Kutim menjamin tidak ada relokasi anggaran di Diknas dan PUPR karena Covid-19 dan fee proyek ditampung oleh Kepala BPKAD dan kepala Bapenda untuk kepentingan Bupati Kutai Timur," terang Firli.
Firli mengatakan dalam memberantas korupsi perlu andil peran dan dukungan semua pihak eksekutif, legislatif, yudikatif dan seluruh anak bangsa dalam perbaikan sistem secara menyeluruh. "Sebagaimana yang pernah sering saya sampaikan di berbagai kesempatan bahwa korupsi terjadi karena banyak faktor dan tidak ada sebab tunggal orang melakukan korupsi," ujar Firli.
Sehingga, bila kekuasaan eksekutif dan legislatif dikuasai oleh hubungan keluarga maka dapat diduga korupsi tidak bisa terelakkan. Di samping itu didorong oleh sistem yang sangat memungkinkan karena sistem yang memang tersedia.
"Korupsi tidak terlepas dari sistem sebagai penyebabnya. Untuk itu banyak hal bidang yang perlu dibenahi," tegas Firli.
Bidang-bidang yang perlu dibenahi pun meliputi sistem ekonomi, sistem tata niaga, sistem pelayananan publik, sistem pengadaan barang dan jasa, sistem perijinan, sistem rekruitmen, sistem impor-ekspor. Termasuk juga sistem politik dan sistem pilkada langsung yang perlu menjadi pemikiran semua pihak.
"Dan dalam hal pencegahannya, KPK sudah melakukan kajian terkait politik berintegritas termasuk pelaksanaan pilkada langsung," ujar Firli.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango menegaskan penetapan tersangka Ismunandar dan istrinya menjadi pelajaran bagi masyarakat dalam memilih pemimpin daerah. "Mengenai dua tersangka ini suami istri, satunya menjabat bupati dan satunya ketua DPRD. Kami serahkan kepada masyarakat untuk menilai dan kemudian mengambil pelajaran dari situ," kata Nawawi.
Karena, lanjut Nawawi, jabatan Bupati dan Ketua DPRD yang disandang Ismunandar dan Encek merupakan hasil dari pilihan masyarakat. Nawawi berharap masyarakat tak salah memilih pemimpin dalam Pilkada 2020 serentak yang bakal digelar Desember mendatang.
"Baik jabatan bupati maupun jabatan sebagai ketua DPRD itu hasil dari pilihan masyarakat itu. Jadi silakan masyarakat mengambil pembelajaran dari sisi ini," katanya.
Mirisnya, samnbung Nawawi, dia pernah mengingatkan agar kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) tidak terulang kembali di wilayah Kalimantan Timur. Peringatan itu ia sampaikan dalam kegiatan koordinasi dan supervisi yang digelar di Balikpapan pada 11 Maret 2020 lalu.
Saat itu, dia mewanti-wanti agar tidak ada permainan-permainan terkait pengadaan barang dan jasa. Ia pun sangat menyayangkan operasi tangkap tangan yang akhirnya dilakukan tim satgas KPK pada Kamis (2/7).
"Kami ingatkan agar di Kalimantan Timur jangan terjadi lagi OTT, sedapatnya tidak terjadi lagi. Tapi nyatanya seperti ini," ujar Nawawi.
Bahkan, sambung Nawawi, ia menyampaikan pernyataan tersebut saat memberikan paparan kepada para pejabat pemerintahan maupun para kontraktor yang ada di Kalimantan Timur. "Ancaman ini malah kami sampaikan kepada pejabat pemerintahan maupun para kontraktor di Kaltim. Nyatanya seperti yang kita lihat sekarang," kata Nawawi.
Selain Ismunandar dan istri, lima tersangka lainnya terkait dugaan suap proyek infrastruktur ini tiga diantaranya merupakan anak buah Ismunandar, yakni Kepala Bapenda, Musyaffa; Kepala Dinas PU, Aswandini; Kepala BPKAD, Suriansyah. Sementara dua pihak lainnya merupakan swasta bernama Aditya Maharani dan Deky Arianto yang diduga sebagai pemberi suap.
Ismunandar dan istrinya, Encek melalui Musyaffa, Aswandini dan Suriansyah diduga menerima suap dari Aditya Maharani dan Deky Arianto. Suap itu diberikan atas sejumlah proyek yang digarap Aditya Maharani dan Deky Arianto di lingkungan Pemkab Kutai Timur.
Saat ini, ketujuh tersangka telah menjalani penahanan di rutan selama 20 hari terhitung sejak Jumat (4/7) sampai 22 Juli 2020. Namun, para tersangka terlebih dahulu isolasi mandiri selama 14 hari guna memenuhi protokol kesehatan pencegahan Covid-19.
Sebagai tersangka pemberi suap adalah dua orang rekanan Pemkab Kutai Timur, yaitu Aditya Maharani dan Deky Aryanto. Ismunandar, Musyaffa, dan Suriansyah ditahan di rutan KPK Kavling C1 (gedung KPK lama), Encek ditahan di rutan KPK Gedung Merah Putih, Adiya Maharani ditahan di rutan Polda Metro Jaya, dan Deky Aryanto ditahan di rutan Polres Jakarta Pusat.