Selasa 07 Jul 2020 13:51 WIB

5 Ketentuan Utang-Piutang Agar Aman dari Unsur Riba       

Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan. Bunga Bank (ilustrasi).
Foto: Republika/Musiron
Terdapat 5 ketentuan agar utang-piutang aman dari riba yang diharamkan. Bunga Bank (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA— Perbuatan riba merupakan dosa besar yang akan mendapat laknat Allah SWT dan Rasulullah SAW jika tidak segera ditinggalkan. Umat Islam mesti meninggalkan bermualah yang memiliki unsur riba.

 

Baca Juga

"Yang menghalalkan riba telah kafir dan yang melakukannya fasik, serta mendapat lima dosa sekaligus," kata Ustaz Ahmad Sarwat Lc MA dalam bukunya. "Hukum Bermualamah Dengan Bank Konvensiona".  

 

Ustadz Ahmad mengatakan, secara garis besarnya riba ada dua macam, yaitu riba yang terkait dengan jual-beli yang disebut riba fadhl dan riba yang terkait dengan peminjaman uang disebut riba nasiah. "Inti riba nasi’ah adalah pinjaman uang yang harus ada tambahan dalam pengembaliannya," katanya.

 

Nasi'ah berasal dari kata nasa'i yang artinya penangguhan. Ustadz Ahmad mencontohkan misalnya A memberi utang berupa uang kepada B, dengan ketentuan harus dengan tambahan prosentase bunganya.

"Riba dalam nasi'ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian," katanya.

 

Menurut Ustadz Ahmad untuk bisa dianggap sebagai riba nasi’ah secara benar dan akurat, setidaknya harus ada lima ketentuan yang terpenuhi.

 

 

1. Utang

 

Tidaklah disebut riba nasi’ah kalau akadnya bukan utang-piutang. Misalnya A pinjam uang dari B, lalu B harus membayar lebih dari jumlah yang dia pinjam.

 

"Namun kalau yang terjadi bukan pinjam melainkan titip uang, kasusnya sudah keluar dari riba," katanya. 

 

Ia mencontohkan, misalnya A titip uang 10 juta kepada B. Jelas sekali akadnya bukan utang melainkan titipan. Seandainya saat pengembaliannya B memberi tambahan kepada A menjadi 11 juta, kasus ini tidak bisa dihukumi sebagai riba. "Sebab riba itu hanya terjadi kalau kasusnya pinjam meminjam atau hutang," katanya.

 

 

2. Berupa uang

 

Utang yang dimaksud di atas hanya sebatas pada utang dalam wujud uang, baik emas perak di masa lalu atau pun uang kertas di masa sekarang. Sederhananya harus berupa benda yang berfungsi sebagai alat pembayaran dalam jual-beli.

 

Sedangkan utang dalam wujud benda-benda, barang atau aset-aset, misalnya rumah, kendaraan, tanah, dan lainnya, tidak berlaku riba meski saat pengembaliannya ada tambahan atau kelebihan yang harus dibayarkan.

Sebab pinjam benda yang harus ada tambahannya masuk ke dalam akad sewa menyewa, atau disebut dengan ijarah. "Dan ijarah adalah akad yang dihalalkan dalam agama," katanya.

 

 

3. Tambahan menjadi syarat di awal

 

Titik keharaman riba nasi’ah ini sebenarnya ada pada syarat yang disepakati di awal, di mana harus ada tambahan dalam pengembaliannya.

 

Seandainya tambahan itu tidak disyaratkan di awal dan terjadi begitu saja, ini pun juga bukan termasuk riba yang diharamkan. 

 

Karena dasarnya adalah kasus yang terjadi pada Rasulullah SAW, ketika beliau meminjam seekor unta yang masih muda (kecil) dari seseorang. Giliran harus mengembalikan, ternyata Beliau tidak punya unta yang muda. "Maka diberikanlah unta yang lebih tua (besar)," tulis Ustadz Ahmad.  

 

Hadits ini, kata dia, menunjukkan bahwa seandainya kelebihan atau tambahan ini diberikan begitu saja, tidak lewat syarat atau kesepakatan sebelumnya, maka tidak menjadi riba.

 

4. Tambahan yang menjadi kebiasaan 

 

Namun meski tidak disyaratkan saat akad peminjaman, tetapi bila sudah jadi kebiasaan (’urf) yang berlaku, sehingga setiap pinjam selalu ada tambahan yang diberikan, maka ini termasuk riba yang diharamkan. Memang tidak disyaratkan, tetapi kalau sudah jadi kebiasaan, hukumnya menjadi tidak boleh.

 

 

5. Tidak dalam kasus inflasi

 

Di masa sekarang kita mengenal ada inflasi yang ekstrem, sehingga membuat nilai mata uang anjlok. Misalnya pinjam uang senilai Rp 10 juta pada 1970. Kalau sampai 50 tahun kemudian belum dikembalikan, apakah pengembaliannya tetap 10 juta ataukah harus disesuaikan dengan nilainya di hari ini?

 

Pada 1970 uang 10 juta bisa beli rumah lumayan besar. Tapi uang segitu di 2020 cuma cukup buat beli pintu gerbangnya saja. Maka hal ini membuat para ulama berbeda pendapat. "Ada yang keukeuh hanya boleh dibayar 10 juta saja," katanya.

 

Akan tetapi ada juga yang lebih realistis dan membolehkan pengembaliannya disesuaikan dengan nilai yang setara di hari ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement