REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Imron Baehaqi
Karena kecewa dan tidak terima tanah kebun miliknya menjadi tempat pembuangan sampah, keluarlah ucapan atau tulisan sebagai berikut, "Siapa yang buang sampah di sini, semoga kena musibah atau miskin tujuh turunan."
Barangkali ungkapan serupa sering kita jumpai dalam pergaulan hidup sehari-hari, sebagai bentuk luapan emosi yang memuncak karena motif tertentu. Atau boleh jadi di antara kita pernah melontarkannya, baik secara terangterangan maupun dalam hati, disadari ataupun tidak.
Contoh lain, misalnya, “mudah-mudahan dia jatuh miskin, semoga dia cepat mati, semoga jatuh sakit, kena azab, dan sebagainya.”
Semuanya tidak lain adalah perkataan tercela yang dilarang dalam agama. Ucapan seperti ini dikenal dengan perkataan melaknat atau mengutuk.
Buya Hamka menjelaskan, mengutuk itu menunjukkan kebencian dan menyingkirkan seseorang dari rahmat Allah SWT atas dirinya. Beliau juga menyebutnya sebagai perkataan sumpah serapah yang tidak sepatutnya keluar dari lisan seorang mukmin.
Sebagaimana dikatakan ar-Raghib al- Ashfahani, melaknat berarti menjauhkan atau menyingkirkan sebagai bentuk kemarahan dan kebencian. Menurutnya, laknat dari Allah SWT di akhirat bermakna hukuman atau azab, sedangkan di dunia berarti terputusnya menerima rahmat dan taufik-Nya. Adapun laknat dari manusia adalah doa (keburukan) yang dialamatkan kepada orang lain. Dalam Alquran, kata laknat disebut sebanyak 41 kali, baik bentuk kata kerja maupun kata benda. Sebagian besar ayat tersebut menunjukkan, otoritas melaknat itu adalah Allah SWT. Dialah yang berhak melaknat dan menyiksa hamba-Nya yang berbuat zalim atau dosa. Di antara ragam kezaliman itu adalah kekufuran, kerusakan, membunuh, kedustaan, murtad, dan sebagainya.
Laknat Allah yang pertama kali, misalnya, berlaku kepada iblis hingga hari pembalasan. (QS Shad [37]:78).
وَّاِنَّ عَلَيْكَ لَعْنَتِيْٓ اِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ “Dan sungguh, kutukan-Ku tetap atasmu sampai hari pembalasan.”
Kemudian, Allah melaknat orang-orang kafir. فَلَعْنَةُ اللّٰهِ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ (QS al-Baqarah [2]:89). “Maka laknat Allah bagi orang-orang yang ingkar”
Namun, mesti diketahui, Nabi SAW pernah ditegur oleh Allah ketika beliau melaknat orang kafir yang menentangnya. (QS Ali Imran [3]:128).
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْاَمْرِ شَيْءٌ اَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ اَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَاِنَّهُمْ ظٰلِمُوْنَ
“Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim.”
Sejak adanya teguran ini, Rasulullah SAW melarang umatnya saling melaknat terhadap sesama manusia, termasuk kepada hewan. Sebab, sejatinya Nabi SAW diutus bukan tukang laknat, melainkan sebagai penebar rahmat.
Akibat bagi orang yang suka melaknat sungguh sangat berat, tidak boleh dianggap remeh. Apalagi, hanya karena urusan-urusan kecil dan sederhana. Sebab, bagi orang yang suka melaknat, tidak akan diberi syafaat dan persaksiannya pada hari kiamat tidak akan diterima. (HR Muslim). Di samping itu, orang yang suka melaknat orang mukmin maka ia seperti membunuhnya. (HR Bukhari).
Oleh sebab itu, menjadi keniscayaan bagi kita supaya cerdas dan hati-hati dalam berucap, berkomentar, dan mengupdate status. Lebih-lebih ucapan atau tulisan yang mengandung laknat, kutukan, dan sumpah serapah.