REPUBLIKA.CO.ID, Peradaban apik yang mampu menggalang harmoni antara ketaatan dan kecerdasan, laku spiritual dan tindak intelektual, kemakmuran materi dan kekayaan rohani, serta aspek ukhrawi dengan aspek duniawi. Itulah bentuk manifestasi nyata dan artikulasi paling fasih akan firman Allah SWT.
''Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu dan telah Kucukupkan padamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu menjadi agamamu.'' (QS Al-Maidah [5]: 3)
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
Amat disayangkan pada era kekinian, ayat tersebut tak cukup mampu kita artikulasikan dengan fasih lagi, akibat kejahilan kita sendiri yang gagal dan enggan menjaga keseimbangan ajaran genuine Islam, berikut sistem pendidikannya (tarbiyah).
Konsep Alquran sebagai pedoman hidup, begitu serasi dengan konsep kenabian Muhammad SAW. Pada satu sisi, Alquran membuka jalan ke arah lingkungan ilmiah melalui perkataan iqra (bacalah).Ia tidak menyediakan secara langsung ilmu matematika atau aljabar, yang merupakan asas-asas penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Tetapi, ia mendatangkan lingkungan rasional (aqliyah) sebagai syarat mutlak perkembangan ilmu pengetahuan.
Di sisi lainnya, dalam urusan duniawi, Rasulullah SAW tidak memperagakan klaim invalibilitas (tak mungkin salah) yang menolak pendapat orang-orang di sekitarnya. Tidak pula, mengumbar 'kesaktian' layaknya para 'orang suci' dalam dunia kekanak-kanakan kita. Hal itu dimaksudkan agar semangat berpikir (aqliyah) yang merupakan roh dari budaya intelektual, dapat tumbuh subur dalam tubuh umat Islam.
Simbol dan bentuk praktis dari dukungan syari'i terhadap budaya intelektual, terwujud dalam bentuk pendirian suffa di Madinnah, sebagai tempat pemberantasan buta huruf, yang didirikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Ini selanjutnya menjadi spirit bagi terbentuknya sebuah peradaban emas, yang tak pernah dicapai oleh agama dan peradaban mana pun, termasuk peradaban Barat kontemporer.
Untuk itu, paling tidak hendaknya kita berintrospeksi. Sudahkah kita menjadi seorang Muslim yang saleh sekaligus intelek, seperti sosok Yahya bin Ma'in yang menghabiskan 1.050 ribu dirham untuk menuntut ilmu hingga hanya menyisakan sandal yang dipakainya?
Atau, seperti Al-Hamadzani yang menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu, bahkan seperti Imam Malik bin Anas yang menjual atap rumahnya (karena tak ada lagi yang dapat dijual) demi menuntut ilmu?
Sebab, sesungguhnya tingkat intelektualitas dapat menjadi tolok ukur, lurus tidaknya akidah seseorang dalam ber-Islam. Serta, menentukan tingkat penguasaan seseorang akan wahyu generik (nonverbal), yang didapat melalui proses penalaran ilmiah, eksperimen, dan tindak intelektual lainnya.