REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Direktur Jenderal Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri Cina Fu Cong mengungkapkan, Kemenlu siap bergabung dalam pembicaraan pembatasan nuklir dengan Amerika Serikat (AS) dan Rusia. Namun hal itu hanya dapat terjadi jika AS menyetujui kesamaan di antara ketiga negara.
“Saya dapat meyakinkan Anda, jika AS mengatakan bahwa mereka siap turun ke level China, China akan dengan senang hati berpartisipasi (dalam pembicaraan pembatasan senjata nuklir) di hari berikutnya,” kata Fu pada Rabu (8/7), dikutip laman The Globe and Mail.
Namun menurut dia, hal itu tentu tidak akan terjadi. Fu menjelaskan, partisipasi China dalam pembicaraan pembatasan senjata nuklir dengan AS dan Rusia tidak realistis. Hal itu karena negaranya memiliki persenjataan nuklir yang jauh lebih kecil dibanding Moskow dan Washington.
Fu berpendapat, keinginan AS menarik China dalam perundingan pembatasan senjata nuklir dengan Rusia hanya sebuah dalih. Dalam konteks ini, AS, kata Fu, memang tak ingin mengganti perjanjian Strategic Arms Reduction Treaty (New Start) yang berakhir pada Februari lalu.
New Start merupakan perjanjian kontrol senjata bilateral antara AS dan Rusia. Berdasarkan ketentuan perjanjian itu, kedua negara dilarang mengerahkan lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, membatasi rudal, dan pembom berbasis darat serta kapal selam yang mengirimnya.
Fu mengatakan AS dan Rusia harus setuju untuk mengurangi persenjataan nuklir mereka. Jika hal itu dilakukan, China akan bergabung dalam upaya pengurangan senjata nuklir.
Pasca-perundingan baru-baru ini di Wina, Austria, negosiator AS Marshall Billingslea mengatakan perjanjian senjata nuklir baru apa pun yang dibuat harus melibatkan China. Dia berharap komunitas internasional menekan Beijing bergabung dalam pembicaraan tersebut.
“Kesepakatan pengendalian senjata nuklir tiga arah, dalam pandangan kami, memiliki peluang terbaik untuk menghindari perlombaan senjata nuklir tiga arah yang sangat tidak stabil,” kata Billingslea.