Rabu 08 Jul 2020 16:29 WIB

George Soros, Yahudi Israel, dan Pusaran Krisis Indonesia

George Soros mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina.

Red: Nashih Nashrullah
George Soros mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina. George Soros (file photo)
Foto: Antara/Saptono
George Soros mendukung pendirian negara Israel di tanah Palestina. George Soros (file photo)

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum 1997, publik Indonesia tak begitu akrab dengan George Soros. Namun, krisis yang melanda kawasan Asia pada tahun itu telah membuat namanya begitu sohor. Adalah Mahathir Mohamad, saat itu perdana menteri Malaysia, yang menyorongkan namanya. Soros dituding sebagai biang keladi dari krisis tersebut, dan Indonesia adalah yang paling parah terkena dampaknya. 

Di Indonesia krisis moneter berubah menjadi krisis ekonomi, lalu krisis politik, dan akhirnya krisis multidimensi. Indonesia terpuruk hingga ke dasar jurang. Saat negeri-negeri lain dengan cepat pulih, dan kini sudah jauh lebih maju dibandingkan sebelum krisis, hingga kini Indonesia justru masih belum beranjak dari kubangan krisis.

Baca Juga

Di berbagai kesempatan, Soros menolak berada di balik krisis negeri-negeri Asia. Dalam kesempatan kunjungan ke Indonesia pekan ini, pun Soros mengulangi bantahannya. Tentu kita bukan hendak menimpakan kesalahan pada pihak lain tentang krisis tersebut, karena kebodohan para pemimpin kita juga merupakan faktor lain yang membuat kita tak kunjung beranjak dari krisis.

Namun, kita harus tetap mencatat dengan tinta tebal bahwa di luar kita ada orang-orang rakus yang tak segan menghisap darah suatu bangsa hingga kering. Mereka inilah sisi hitam dari kapitalisme.

Sebenarnya, di Indonesia nama Soros cukup dikenal di lingkungan spekulan mata uang, pialang saham, maupun para aktivis LSM. Banyak orang Indonesia yang kecipratan menjadi kaya dengan mengelola dana para bandar uang kelas dunia, ataupun menjadi calo dana-dana sosial mereka.

Soros berbisnis dengan jual-beli saham di bursa-bursa saham maupun di pasar uang. Dari sebagian kekayaannya dia bak sinterklas membagi-bagikan sebagian kekayaannya melalui yayasan-yayasan sosial yang berkolaborasi dengan lembaganya, Open Society Institute.

Soros adalah figur anomali dalam dunia bisnis. Jika lazimnya pengusaha menutupi kaitan dirinya dengan dunia politik, Soros justru tanpa tedeng aling-aling menunjukkan aktivitas politiknya. Misalnya, ia secara terbuka ikut berkampanye dan mengeluarkan dana untuk meruntuhkan George W Bush pada Pemilu 2004.

Ia juga ikut berkampanye menolak invasi Amerika ke Irak maupun mengecam cara Bush dalam perang melawan teror. Kedatangannya ke Indonesia kali inipun, ia menemui Kaukus Parlemen Indonesia untuk Myanmar di DPR untuk menekan junta militer negeri sekawasan tersebut. Ia juga tak menutupi kaitan dirinya dengan Israel.

Sebagai warga Amerika keturunan Yahudi, ia mendukung berdirinya Israel di tanah Palestina. Di masa Perang Dingin, ia juga diduga ikut mendanai kelompok perlawanan di Polandia, Cekoslowakia, Georgia, maupun Uni Soviet.

Citra intelektual juga hendak ia sematkan pada dirinya. Selain rajin menulis buku, artikel, maupun memberikan ceramah, pria kelahiran Hungaria ini juga memiliki sahabat di kalangan cendekiawan.

Salah satunya adalah mendiang Karl R Popper, filsuf kelahiran Austria yang menjadi profesor di Inggris. Popper adalah gurunya di London School of Economics. Nama open society sendiri diambil dari judul buku Popper.

Dalam kesempatan kedatangan Soros di Indonesia saat ini, publik Indonesia layak untuk meminta pertanggungjawaban moral dirinya terhadap krisis negeri ini. Ia memang berkali-kali menyangkal, namun itu adalah sebuah kelaziman diplomasi dan silat lidah pengusaha. Kucuran uangnya untuk dana-dana sosial tak mencukupi bagi menutup jejak serangannya terhadap negeri-negeri yang lemah di rimba kapitalisme.  

Apalah arti segala visinya jika akibat langkah-langkahnya, sebuah negeri dengan ratusan juta penduduk harus menderita: tak cukup gizi, tak bisa sekolah, tak bisa mengapresiasi demokrasi. Sekali lagi, kita tak menuntut apa-apa darinya, selain moralitasnya, sebagaimana kita tak pernah bisa menuntut para pemimpin kita yang lancung dan lacur

Tajuk Harian Republika, 14 Desember 2006

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement