REPUBLIKA.CO.ID, Pertarungan antara Israel dan Hizbullah di Lebanon layaknya musuh bebuyutan. Agresi Israel terhadap Lebanon 12 Juli 2006 adalah di antara bukti itu. Alasan Israel melancarkan serangan tersebut untuk membebaskan dua prajuritnya yang diculik Hizbullah. Dalam perkembangan berikutnya, alasan tersebut ternyata kamuflase alias palsu.
Menteri pertahanan Israel ketika itu, Amir Perets, secara terbuka mengatakan Israel ingin mengusir Hizbullah dari Lebanon. Bahkan pada 23 Juli 2006, perdana menteri Israel masa itu, Ehud Olmert, mengisyaratkan bahwa krisis di Lebanon akan memakan waktu yang lama, hingga infrastruktur Hizbullah di Lebanon dapat dihancurkan.
Israel juga secara tegas menolak usul utusan PBB untuk gencatan senjata dalam waktu segera. Mereka beralasan, penghancuran infrastruktur kelompok 'teroris' tidak mengenal upaya diplomasi. Akibat dari agresi itu ratusan warga Lebanon meninggal, ratusan ribu penduduk lainnya terusir dari kampung halaman.
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Israel sedemikian beringas melancarkan perang pembersihan tanpa membedakan antara target sipil dan militer? Israel ibarat seorang yang sedang kehausan menemui sebuah mata air. Penculikan dua tentara Israel dimanfaatkan untuk melampiaskan dendam masa lalu dengan memberangus Lebanon. Seorang pengamat masalah Timteng asal Inggris, Patrick Seal, dalam artikelnya di Surat Kabar Harian Al Hayat terbitan 24 Juli 2006 mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan Israel sedemikian beringas menghadapi Hizbullah.
Di antara alasan itu adalah historis konflik Hizbullah-Israel. Kedua kekuatan ini pernah berseteru sebelumnya selama 15 tahun yang berakhir dengan penarikan mundur Israel dari Lebanon selatan tahun 2000. Sehingga bisa dipahami serangan Israel merupakan aksi balas dendam atas kekalahan Israel di masa lalu.
Selain faktor historis konflik kedua pihak, kebiadaban Israel juga dipengaruhi oleh lemahnya reaksi dunia internasional dalam mengecam dan mengupayakan penghentian agresi tersebut secara cepat. Bahkan terkesan masyarakat internasional secara implisit menginginkan Israel sebagai alat implementasi Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) 1559. Resolusi itu isinya antara lain menyangkut perlucutan senjata milisi-milisi sipil di Lebanon, termasuk Hizbullah.
Pemberitaan koran New York Times beberapa waktu lalu makin memperkeruh keadaan. Harian itu memberitakan, Amerika Serikat (AS) mempercepat pengapalan senjata bom berpresisi tinggi ke Israel di saat negara ini melakukan serangan membabi buta ke Lebanon. Apapun alasannya, pengiriman itu jelas menunjukan sikap dukungan buta AS terhadap agresi militer yang mendorong negara zioinis semakin gencar membombardir Lebanon. Kebijakan tersebut juga tidak mendukung bagi upaya penghentian perang.
Sementara kekuatan-kekuatan internasional termasuk PBB dan Uni Eropa tidak mengambil sikap tegas terhadap agresi ini. Hasil pernyataan para pemimpin yang menghadiri pertemuan G-8 di Petersburgh, Rusia, juga cenderung menyalahkan kelompok Hizbullah. Para pejuang Hizbullah dianggap sebagai pemicu terjadinya kekejian Israel di Lebanon.
Bisa dikatakan, terdapat kesepakatan di antara masyarakat internasional mengenai perlunya perlucutan dan netralisasi kelompok Hizbullah di Lebanon. Bahkan Hizbullah dianggap sebagai kelompok yang menjadi penghambat bagi proses demokratisasi di Lebanon. Situasi internasional demikian dimanfaatkan oleh Israel untuk terus menghancurkan Lebanon dengan dalih menumpas Hizbullah.