REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Akademisi Universitas Warmadewa, Dr. I Wayan Suka Wirawan, SH., MH mengomentari kritikan politikus PDIP Adian Napitupulu terhadap kepemimpinan Menteri BUMN Erick Thohir. Khususnya, terkait kritikan Adian soal pengangkatan direksi dan komisaris di perusahaan pelat merah tersebut.
I Wayan menilai kritikan yang dilayangkan Adian inkonsisten. Wayan menegaskan, awalnya Adian mengkritik pengangkatan beberapa pensiunan sebagai Direksi atau Komisaris BUMN oleh Menteri BUMN. Namun, pada kesempatan lain, juga mengritik pengangkatan Direksi atau Komisaris BUMN oleh milenial.
"Lalu jika baik kaum tua, dalam hal ini pensiunan, maupun kaum muda atau milenial tidak tepat mengisi jabatan Direksi atau Komisaris BUMN, lalu siapa yang kompeten, dan dengan kriteria-kriteria versi dia? Apa kompetensi ini diukur menurut pikiran Adian? Inilah yang tidak pernah dikemukakan secara jelas dan terang (clara et distincta) oleh Adian, kecuali, dalam penglihatannya, mencoba menghubungkan kriteria kompetensi itu dengan sesuatu yang lain, yaitu dengan sejarah perjuangan dan sukses politik, dan berdasarkan kriteria inilah kompetensi itu ingin dirumuskan, ditentukan, diputuskan," kata Wayan di Jakarta, Rabu (8/7).
Masih menurut Wayan, Adian melupakan cara kerja hukum dalam memutuskan, atau setidaknya mengompromikan penyelesaian masalah-masalah termasuk problema-problema hukum dalam kasus-kasus spesifik. "Penentuan makna istilah “kompeten”, misalnya, dan dari sini keputusan mengenai siapa yang kompeten ditentukan, bagaimanapun, dalam dirinya sendiri kabur & mengandung kontradiksi-kontradiksi," kata I Wayan.
"Lepas dari fakta bahwa mungkin saja terdapat kriteria objektif bahwa seseorang memang kompeten baik dalam banyak bidang atau hanya pada bidang tertentu, kompetensi adalah istilah bersifat evaluatif sehingga dengan sendirinya bermakna kabur termasuk dalam transformasinya sebagai norma-norma hukum," tambay dua.
Dia menjabarkan, melalui norma-norma yang terkandung dalam peraturan-peraturannya, dan sejalan dengan sifatnya yang kompromistis, hukum menengahi persoalan tersebut termasuk dengan menetapkan siapa yang berwenang menentukan orang yang kompeten, bahkan paling kompeten.
"Namun, dan ini penting untuk dipahami semua pihak, siapa pun yang oleh hukum ditetapkan berwenang menentukan siapa yang paling kompeten, keabsahan pelaksanaan kewenangan ini tidak terletak pada pernyataan bahwa benar orang yang ditetapkan itu paling kompeten," kata dia.
Menurut dia, itu semua terletak pada pernyataan bahwa ; benar terdapat pejabat tertentu yang berwenang untuk menilai dan menetapkan seseorang sebagai kompeten.
Akan tetapi, kata dia, publik tentu perlu mengapresiasi sikap kritis wakilnya karena melalui kritik itulah urat nadi demokrasi benar-benar hidup dan terus bertahan. Namun di sisi lain, publik juga berkepentingan untuk mengingatkan wakilnya bahwa satu-satunya alasan sah suatu kritik adalah kepentingan publik itu sendiri, bukan yang lainnya, sehingga roh suatu kritik termasuk argumen tentang makna berikut kriteria kompetensi benar-benar dimaksudkan untuk menemukan 'the most competent candidate'.
"Bukankah kritik itu adalah cara lain untuk mengawal kebenaran daripada puji-pujian? Seseorang boleh saja berdebat mengenai kompetensi, tetapi meminjam istilah 'quot homines tot sententiae', perbedaan pandangan mengenai kompetensi bagaimanapun merupakan diskursus yang mustahil tuntas, dan dalam situasi inilah, hukum tidak mungkin di lihat dengan mengabaikan 'batas-batas justifikasi deduksi'," lanjutnya.