REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jaringan terorisme mulai merekrut anak-anak melalui media digital. Cara baru mereka adalah menggunakan website, media sosial, dan social messenger.
"Perekrutan dilakukan terbuka dan pembaiatan melalui media," kata Asisten Deputi Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Hasan dalam seminar daring yang diadakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang diikuti di Jakarta, Rabu (8/7).
Hasan mengatakan perekrutan melalui keluarga, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan dengan perekrutan secara tertutup dan pembaiatan secara langsung adalah cara-cara lama jaringan terorisme merekrut anak. Menurut Hasan, ada beberapa faktor yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan jaringan terorisme.
Pertama adalah faktor yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga. "Ada orang tua atau anggota keluarga lain yang mengajarkan paham radikalisme dan terorisme kepada anak," tuturnya.
Faktor berikutnya berasal dari lingkungan, yaitu lingkungan pertemanan dan tetangga yang mengajarkan radikalisme dan terorisme kepada anak. Hasan mengatakan kemiskinan juga bisa menjadi faktor lain yang menyebabkan anak terlibat radikalisme dan terorisme.
"Mereka dijanjikan gaji, hal-hal berbau materi, atau jaminan seumur hidup agar tertarik masuk ke dalam jaringan terorisme," katanya.
Anak harus dicegah agar tidak terlibat radikalisme dan terorisme supaya tidak menjadi pelaku tindak pidana terorisme. Paham radikalisme dan terorisme juga berpengaruh buruk pada tumbuh kembang anak, terutama dari sisi karakter kehidupan bermasyarakat, pemahaman agama, nilai-nilai nasionalisme, dan ideologi.
Radikalisme dan terorisme juga dapat menjadikan anak sebagai korban dan pelaku kekerasan, serta mengalami stigmatisasi dari pelabelan akibat tindak pidana terorisme yang dilakukan orang tua atau anak sendiri.