REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyampaikan kekesalannya kepada kementerian yang dianggap tidak bekerja cepat dalam penanganan pandemi Covid-19. Teguran kembali disampaikan presiden dalam rapat terbatas di Istana Negara, Selasa (7/7) lalu.
Saat itu, rapat terbatas bersifat tertutup dan tidak bisa diliput media. Baru pada Rabu (8/7) malam, pihak Istana mengunggah video sambutan Presiden melalui kanal media sosial.
Setidaknya ada tiga bidang kementerian yang kembali disorot Presiden. Pertama bidang ekonomi, Presiden mengkritik penyaluran stimulus ekonomi untuk pelaku UMKM, pelaku usaha menengah hingga besar yang belum terlihat realisasinya.
Kemudian bidang sosial, Presiden melihat penyaluran bantuan sosial (bansos) untuk masyarakat terdampak Covid-19 sudah 'lumayan'. Kendati begitu, ia tetap meminta penyaluran dipercepat dan dipastikan seluruh masyarakat yang ekonominya terdampak Covid-19 bisa mengakses bantuan.
Ketiga, bidang kesehatan. Presiden hanya berkata singkat bahwa sektor kesehatan ini perlu dipercepat ritme kerjanya.
Di hadapan para menteri, Presiden kembali meminta agar jajarannya bisa mempercepat kinerja dan menambah laju ritme kerja demi mengoptimalkan penanganan Covid-19, baik dari segi kesehatan dan mengatasi dampak ekonominya.
"Saya minta kita memiliki sense of crisis yang sama. Sampai tiga bulan yang lalu kita menyampaikan bekerja dari rumah, work form home. Yang saya lihat ini kayak cuti malahan. Padahal pada kondisi krisis kita harusnya kerja lebih keras lagi," jelas Jokowi dalam sambutan ratas.
Presiden pun meminta masing-masing kementerian untuk bisa mempersingkat pembuatan aturan pendukung bila memang diperlukan untuk mempercepat penanganan Covid-19. Tak hanya itu, Presiden juga kembali mendesak seluruh kementerian mempercepat belanja.
Menurut Presiden, belanja pemerintah adalah satu-satunya roda penggerak perekonomian nasional di saat rantai permintaan, pasokan, dan produksi goyah akibat pandemi Covid-19. Seperti diketahui, berbagai pembatasan yang dilakukan demi mencegah penularan Covid-19 sempat memukul sektor industri dan melemahkan daya beli masyarakat.
"Dari demand, supply, production semuanya terganggu dan rusak. Dalam situasi seperti ini siapa yang bisa menggerakkan ekonomi? Nggak ada yang lain kecuali belanja pemerintah," kata Jokowi.
Rapat terbatas pada Selasa kemarin memang khusus mengundang enam kementerian yang memiliki alokasi anggaran terbesar. Keenamnya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dengan alokasi sekitar Rp 75 triliun, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp 70,7 triliun, Kementerian Sosial Rp 104,4 triliun, Kementerian Pertahanan Rp 117,9 triliun, Kementerian Perhubungan Rp 32,7 triliun, dan Polri dengan anggaran Rp 92,6 triliun.
"Saya minta di kementerian dan juga di kepolisian ini dipercepat semuanya. Belanjanya. Jadi yang saya hadirkan di sini, yang saya undang adalah yang gede-gede tadi," kata Jokowi.
Jokowi mewanti-wanti, kinerja cepat seluruh kementerian diperlukan demi menyelamatkan laju pertumbuhan ekonomi yang terancam minus. Menurut Presiden, kunci penyelamatan ekonomi ada pada kuartal III 2020 ini. Bila pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal bisa bertahan di rentang positif, maka risiko resesi bisa jauh berkurang.
"Sekali lagi, percepat belanja. Belanjanya produk dalam negeri. Memang kuncinya di kuartal III ini. Begitu kuartal III bisa mengungkit ke plus, ya sudah, kuartal IV lebih mudah. Tahun depan insya Allah juga akan lebih mudah," jelas Jokowi.
Ini bukan kali saja Jokowi tampak kesal kepada para menterinya. Dalam sidang kabinet paripurna 18 Juni lalu, Presiden juga menegur jajarannya. Bahkan saat itu, Jokowi mulai mengangkat wacana reshuffle atau perombakan kabinet. Ancaman reshuffle ditujukan kepada menteri-menteri yang dianggap tidak bisa bekerja cepat dan 'extraordinary' dalam penanganan pandemi Covid-19.
Penanganan yang dimaksud tak hanya dari aspek kesehatan, namun juga kaitannya dalam perekonomian, dan penyaluran bantuan sosial. Dalam sambutannya, Presiden terlihat kecewa karena jajarannya tak bisa bekerja dengan ritme 'extraordinary' dalam penanganan Covid-19. Padahal menurutnya, diperlukan sebuah ritme kerja yang di atas normal dan kebijakan yang 'tak normal' sebagai respons terhadap krisis kesehatan dan ekonomi yang terjadi.
Presiden juga tampak kesal karena sejumlah kementerian terlihat lambat dalam melakukan belanja anggaran. Padahal, anggaran penanganan Covid-19 sudah disiapkan dengan nilai triliunan. Anggaran kesehatan misalnya, Jokowi menyebut sudah disiapkan Rp 75 triliun. Saat itu anggaran yang terserap baru 1,53 persen.