REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Antonio Guterres memperingatkan Dewan Keamanan (DK) bahwa konflik di Libya telah memasuki fase baru. Dia menyatakan kondisi di negara itu berada di tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya karena keberadaan campur tangan asing dan tentara bayaran.
"Konflik telah memasuki fase baru dengan campur tangan asing mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk dalam pengiriman peralatan canggih dan jumlah tentara bayaran yang terlibat dalam pertempuran," kata Guterres, Rabu (8/7).
Libya tenggelam dalam kekacauan setelah penggulingan pemimpin Muammar Gaddafi yang didukung NATO pada 2011. Sejak 2014, negara itu terpecah, dengan pemerintah yang diakui secara internasional mengendalikan ibu kota Tripoli dan barat laut, sementara pemimpin militer Khalifa Haftar di Benghazi memerintah di timur. Haftar didukung oleh Uni Emirat Arab, Mesir dan Rusia, sementara pemerintah didukung oleh Turki.
"Kami sangat prihatin dengan peningkatan militer yang mengkhawatirkan di sekitar kota, dan campur tangan asing langsung dalam konflik yang melanggar embargo senjata PBB, resolusi Dewan Keamanan PBB, dan komitmen yang dibuat oleh Negara-negara Anggota di Berlin," kata Guterres.
Guterres mengatakan antara April hingga Juni tahun ini, misi PBB telah mendokumentasikan setidaknya 102 kematian dan 254 luka-luka dari warga sipil. Jumlah ini mengalami peningkatan 172 persen dibandingkan dengan kuartal pertama 2020.
Sekjen PBB ini juga menyoroti setidaknya ada 21 serangan terhadap fasilitas medis, ambulans, dan tenaga medis. Kondisi yang terus meningkat ini membuatnya meminta DK PBB untuk mengambil tindakan atas gangguan dari beberapa pejabat nasional utama untuk audit internasional Bank Sentral Libya.
Keberadaan pasukan asing ini menyoroti laporan rahasia Mei oleh pengawas sanksi independen kepada komite sanksi Dewan Keamanan Libya. Laporan itu menyatakan kontraktor militer swasta Rusia, Wagner Group, memiliki hingga 1.200 orang yang dikerahkan di Libya untuk memperkuat pasukan Haftar.
Duta Besar Rusia untuk PBB, Vassily Nebenzia, menolak tuduhan keterlibatan Rusia di Libya. "Tetapi kita tahu tentang personel militer negara lain, termasuk dari negara-negara yang menuduh kita, untuk hadir di tanah Libya, Timur dan Barat," katanya kepada DK.
Menteri Urusan Luar Negeri Uni Emirat Arab, Anwar Gargash, mengatakan ada sekitar 10 ribu tentara bayaran Suriah yang beroperasi di Libya. "Sekitar dua kali lipat dari yang ada enam bulan lalu," ujarnya merujuk kepada dugaan Turki meminta bantuan milisi Suriah untuk membantu keamanan pemerintah Libya.