REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali menggulirkan rencana melakukan redenominasi rupiah. Rencana redenominasi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2020-2024. Sebenarnya wacana redenominasi ini bukan hal yang baru.
Menanggapi rencana redenominasi tersebut, Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Sarmuji, menilai redenominasi rupiah sebenarnya suatu hal yang bagus untuk dilakukan. Hanya saja membutuhkan syarat-syarat yang ketat, salah satunya kondisi ekonomi Indonesia harus stabil pada saat pelaksanaan.
"Syaratnya kondisi perekonomian harus dalam keadaan stabil pada waktu redenominasi dilaksanakan," tegas politikus Partai Golkar, Kamis (9/7).
Maka dengan demikian, kata Sarmuji, untuk satu tahun ini sebaiknya pemerintah fokus pada pemulihan ekonomi. Mengingat kondisi perekonomian Indonesia dan juga dunia tengah digoyang oleh pandemi Covid-19 hingga saat ini. Ia memperkirakan tahun depan ekonomi tumbuh bagus dan diperkirakan dalam jangka menengah stabil.
"RUU (RUU tentang perubahan harga rupiah atau redenominasi rupiah) ini layak untuk dibahas. Jika RUU ini diajukan sekarang ibarat menanam, ia salah musim," tutur Sarmuji.
Menurut Sarmuji, masyarakatnya tidak perlu khawatir meski redenominasi dilakukan nilai rupiah pascaredemoniasi sama dengan nilai rupiah sebelum redenominasi. Memang, Sarmuji mengakui, akan butuh waktu untuk sosialisasi dan nutuh waktu jiga untuk transisi.
"Selama masa transisi mata uang lama tetap berlaku bersamaan dengan mata uang hasil redenominas. Hiperinflasi tidak akan terjadi karena ini bukan sanering," ungkap Sarmuji.
Sebelumnya, sejumlah negara pernah sukses melakukan redenominasi mata uang, baik dengan menghilangkan angka nol, maupun menambahkannya. Salah satu negara yang sukses tersebut adalah Turki. Turki dinilai sukses melakukan redenominasi dengan menghilangkan 6 angka nol pada mata uangnya. Redenominasi dilakukannya dengan mengubah 1.000.000 lira menjadi 1 lira pada tahun 2005.
Kebijakan ini dilakukan untuk menekan laju inflasi yang sangat tinggi sejak tahun 1970-an. Banyak negara yang mengalami hiperinflasi dan akhirnya melakukan redenominasi. Untuk kasus Indonesia, rencana redenominasi dilakukan tidak karena hiperinflasi, namun semata-mata untuk menyederhanakan.
Namun sejumlah negara juga yang pernah gagal menerapkan redenominasi. Kelima negara tersebut adalah Rusia, Argentina, Brasil, Zimbabwe, dan Korea Utara. Bahkan Zimbabwe harus melakukan tiga kali redenominasi yaitu pada 2006, 2008, dan 2009. Akibatnya pada tahun 2007 silam, inflasi Zimbabwe sempat mencapai 1.000 persen.