Kamis 09 Jul 2020 14:46 WIB

Gunung Merapi yang Menggembung di Tengah Pandemi

Pemkab susun rencana kontijensi Merapi di saat wabah Covid-19 masih berlangsung.

Seorang relawan mengabadikan video suasana Gunung Merapi yang terlihat dari kawasan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (8/7/2020). Bedasarkan data pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), pascaerupsi Gunung Merapi pada 21 Juni 2020 terjadi peningkatan deformasi atau perubahan tubuh Gunung Merapi sebesar 0,5 sentimeter per hari. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.
Foto: ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Seorang relawan mengabadikan video suasana Gunung Merapi yang terlihat dari kawasan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Rabu (8/7/2020). Bedasarkan data pengamatan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), pascaerupsi Gunung Merapi pada 21 Juni 2020 terjadi peningkatan deformasi atau perubahan tubuh Gunung Merapi sebesar 0,5 sentimeter per hari. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/foc.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana

Masyarakat di sekitar Gunung Merapi diminta waspada. Kesiagaan dilakukan sebab Sang Merapi diketahui dalam posisi menggembung.

Baca Juga

Pemkab Sleman pun mempersiapkan rencana kontijensi baru untuk keadaan darurat akibat aktivitas Gunung Merapi. Tidak cuma lantaran baru terjadi penggembungan, tapi karena masih berlangsungnya pandemi Covid-19.

Penyusunan dilakukan usai Pemkab Sleman lakukan rapat koordinasi. Rakor tidak cuma digelar dengan Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), tapi juga Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Bupati Sleman, Sri Purnomo, mengatakan walaupun pandemi Covid-19 masih ada, jangan sampai lupa Gunung Merapi merupakan gunung yang aktif. Artinya, masyarakat harus tetap waspada atas aktivitasnya dan terus mengikuti arahan-arahan terkini.

"Kita sebenarnya sudah membuat rencana kontijensi jika ada aktivitas Merapi, tapi kontijensi yang kita dibuat itu masih belum Covid-19, sekarang harus ada perubahan paradigma penanganannya," kata Sri di Pemkab Sleman, Kamis (9/7).

Sri mengungkapkan, kontijensi dengan cara-cara penanganan dan penanggulangan yang belum diubah terakhir dibuat Februari 2020 sebelum Covid-19. Perubahan rencana ini yang sedang terus didiskusikan agar bisa diterapkan hari ini.

Deputi Pencegahan BNPB, Lilik Kurniawan, menuturkan letusan besar yang ada di Gunung Merapi terjadi terakhir 10 tahun lalu. Namun, informasi jika terjadi penggembungan beberapa hari lalu membuat koordinasi lebih lanjut dilakukan.

"Kita harus lebih siaga lagi, sekarang kita harus berhadapan dengan Covid-19 tapi kita tidak boleh lupa dengan ancaman bencana lain," ujar Lilik.

BNPB sendiri mendapati setidaknya empat kabupaten untuk melakukan koordinasi yaitu Kabupaten Sleman, Klaten, Boyolali dan Kabupaten Magelang. Sebelum ke Sleman, BNPB mengecek sudah terlebih dulu kondisi di Klaten dan Boyolali.

Pengecekan dilaksanakan sekaligus untuk memastikan jalur-jalur evakuasi yang ada siap digunakan. Terlebih, di Kabupaten Klaten, misalnya, ada jalur-jalur yang diketahui rusak dan sudah diinstruksikan agar segera diperbaiki.

"Nantinya juga kami akan melihat, yang ada di Klaten apakah sudah siap belum, yang ada di Magelang, apakah sudah siap apa belum, jadi intinya kami di BNPB sangat konsen terkait penanggulangan bencana," kata Lilik.

Menurut Lilik, walaupun Gunung Merapi ternyata tidak mengeluarkan aktivitas berupa letusan, kesadaran dan kesiapsiagaan tetap harus dilakukan. Sehingga, ketika suatu saat letusan itu benar-benar terjadi semuanya sudah siap.

Terkait kondisi terkini, perhatian diberikan salah satunya usai terjadi gempa vulkanik dangkal di Gunung Merapi selama dua hari berturut-turut. Terlebih, belum lama ada erupsi-erupsi yang ketinggiannya melebihi tiga kilometer.

Kemudian, di Pos Pengamatan Gunung Merapi (PGM) Jrakah, mereka dijelaskan soal adanya morfologi yang mulai tumbuh. Artinya, kemungkinan terdapat aktivitas-aktivitas dalam Gunung Merapi yang harus sudah mulai terpantau.

"Kita ingin masyarakat semua siap, semua waspada, semua pemerintah jalankan tugasnya, memastikan tempat-tempat evakuasi, jalur-jalur evakuasi harus siap semuanya, kesiapan kita menentukan," kata Lilik.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), Hanik Humaida, membenarkan adanya penggembungan di Gunung Merapi. Namun, ia menekankan, penggembungan yang terjadi belum signifikan.

"Artinya, ada pemendekan (jarak tubuh gunung api) sebesar 0,5 centimeter per hari ke arah Babadan (Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah)," kata Hanik usai rakor dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Pemkab Sleman, Kamis (9/7).

Ia mengatakan, sampai saat ini aktivitas itu masih terus dipantau karena ada dua kemungkinan, bisa meletus atau erupsi yang terjadi 21 Juni 2020 kemarin. Terlebih, sejak 2018 terus terjadi erupsi dengan eksplosivitas tingkat satu.

Hanik mengingatkan, jika dibandingkan kondisi yang terjadi pada 2010 memang masih cukup jauh karena saat itu eksplosivitas mencapai tingkat empat. Lalu, belum pula mencapai kondisi yang terjadi pada 2006 yang mencapai tingkat dua.

"Kalau kita bilang eksplosif itu karena dominannya gas, masih belum berbeda jauh dengan yang kemarin-kemarin," ujar Hanik.

Kemungkinan kedua, lanjut Hanik, kondisi itu menandakan tumbuhnya kubah lava. Seperti kondisi yang dialami Gunung Merapi pada Agustus 2019 lalu, sehingga sampai saat ini perkembangan aktivitasnya masih terus dipantau.

Meski begitu, ia membenarkan, terjadinya pemendekan jarak tubuh gunung api atau penggembungan menandakan magma semakin ke atas. Penggembungan sebesar 0,5 centimeter per hari itu sendiri terjadi sejak erupsi 22 Juni 2020 lalu.

"Sebelum erupsi tidak ada itu, jadi masih dominan gas dan sebagainya," kata Hanik.

Sebagai pembanding, erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 2010 menimbulkan penggembungan sekitar 120 centimeter selama satu bulan ke arah Kaliurang, Kabupaten Sleman, DIY. Artinya, terjadi rata-rata 30-40 centimeter per hari.

Untuk itu, ia meminta masyarakat tetap waspada dan tidak melakukan aktivitas dalam radius tiga kilometer dari puncak. Pasalnya, potensi bahaya masih ada dalam radius tiga kilometer karena letusan memang bisa sewaktu-waktu terjadi.

"Di bawah masih aman, silakan di luar radius tiga kilometer masih bisa aktivitas seperti biasa," ujar Hanik.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement