REPUBLIKA.CO.ID,
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ”، ثُمَّ تَلَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ( (رواه أحمد)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra, Rasulullah saw bersabda: “Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.” Kemudian Rasulullah saw membaca ayat yang berbunyi, “Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami pun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa (Qs Al-An’am: 44).” (HR. Ahmad)
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad (28/547) dan Al-Tabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (17/330) dan Al-Mu’jam Al-Ausath (9/110). Hadits ini juga di-hasan-kan oleh al-‘Iraqi dalam Takhrij Al-Ihya’ (4/162). Dua kritikus Hadits modern, Syu’aib Al-Arnauth menilai Hadits ini hasan dilihat dari jalur lain (hasan li-ghairihi) dan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (nomor Hadits 561) menilainya shahih.
Istidraj secara bahasa bermakna naik dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya. Sedang istidraj dari Allah kepada hamba dapat dipahami sebagai ‘hukuman’ yang diberikan sedikit demi sedikit, tidak secara langsung. Allah membiarkan hamba ini dan tidak disegerakan hukumannya sebagaimana firman Allah:
سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لاَ يَعْلَمُونَ
Artinya: “Nanti Kami akan menghukum mereka dengan berangsurangsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui.” (Qs Al-Qalam: 44)
Al-Munawi dalam Faidh Al-Qadir Syarh Al-Jami Al-Shaghir mengatakan, perkara dunia yang diinginkan hamba dalam Hadits ini berupa harta, anak, dan kedudukan. Dengan kenikmatan itu justru hamba tersebut semakin gencar dalam berbuat maksiat.
Akhirnya Allah berikan hamba tersebut istidraj (jebakan) berupa dibukanya pintu kenikmatan lain dan hamba tersebut merasa senang dan nyaman dengan kemaksiatannya disertai dengan hilangnya keinginan bertaubat, apalagi menyesali perbuatannya. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan bentuk kehidupan hamba dalam istidraj ini adalah dibukanya berbagai pintu rezeki dan sumber penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) hingga terperdaya dan beranggapan diri mereka di atas segala-galanya.