REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mempertanyakan alasan National Central Bureau (NCB) Interpol sempat mencabut status buronan terpidana cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Tjandra. Red Notice Djoko dihapus sejak 13 Mei 2020, sehingga dia berhasil masuk ke Indonesia tanpa deteksi keimigrasian.
Usai status buronan dicabut, seorang DjokoTjandra pekan lalu mengajukan PK ke Pengadilan serta membuat e-KTP baru dengan begitu mudahnya. "Yang kami pertanyakan siapa yang meminta dan untuk alasan apa NCB mencabut status Red Notice Djoko Tjandra," kata Wihadi saat dhubungi, Kamis (9/7).
Di samping itu, dihapusnya status buronan Djoko Tjandra oleh NCB juga tidak sampai kepada pihak aparat penegak hukum di Indonesia. "Karena itu kaitannya harus dipertanyakan karena kalau red notice itu dicabut oleh NCB apakah ini sepengetahuan jaksa, lalu apakah ini sepengetahuan juga pengadilan karena status Djoko Tjandra itu sudah terpidana," tegasnya.
Wihadi mengatakan, pekan depan akan meminta keterangan lebih jelas kepada semua pihak atau lembaga dianggap memiliki andil dalam kasus Djoko Tjandra. "Pekan depan kami akan panggil imigrasi lalu Polri dan lain-lain akan kita cari tahu sampai sejauhmana informasi yang mereka dapat dalam kasus ini dan ini mesti harus kita dalami," kata dia.
Menkumham Yasonna Laoly sebelumnya juga menyatakan, Djoko Tjandra sudah tidak masuk dalam red notice di Intepol. Sehingga, kata dia, seandainya Djoko masuk melalui jalur resmi pun tak bisa dihalangi langsung oleh keimigrasian.
Terkait Djoko Tjandra ini, kata Yasonna, Kemenkumham dan Kejaksaan Agung pun membentuk tim untuk meneliti segala kemungkinan, seperti pengubahan nama maupun kemungkinan lainnya. "Kita tidak tau bisa saja orang ambil paspor di Bangkok sana kan," ujar Yasonna.