REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, mengatakan, hukum akan memperlakukan Maria Pauline Lumowa, buron pembobol BNI senilai Rp 1,7 triliun, dengan baik. Hak-haknya akan diperhatikan selama proses hukum berjalan.
"Saya katakan (ke Maria) hukum akan memperlakukan dia dengan baik, akan memperhatikan hak-hak asasinya," ungkap Mahfud dalan konferensi pers yang dilaksanakan di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Kamis (9/7).
Mahfud mengatakan, bantuan hukum terhadap Maria harus tetap diberikan. Berdasarkan percakapannya dengan Maria, buronan yang ditangkap di Serbia itu sudah mempunyai kuasa hukum. Kuasa hukumnya dari Kedutaan Besar karena dia telah menjadi warga negara Belanda.
"Tadi sudah mengatakan punya kuasa hukum, dari kedubes karena beliau sekarang menjadi warga Belanda," kata dia.
Di samping itu, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly mengungkapkan, ekstradisi terhadap Maria dilakukan pada masa injury time. Maria diekstradisi dari Serbia setelah kurang lebih 17 tahun menjadi buronan.
"Kami betul-betul berupaya keras untuk mengekstradisi. Ini di injury time," kata Yasonna di Bandara Soekarno Hatta, Kamis (9/7).
Yasonna mengungkapkan, Maria ditangkap dan ditahan Pemerintah Serbia setahun yang lalu pada 16 Juli 2019. Menurut dia, jika Maria tidak segera dibawa ke Indonesia, maka secara hukum Maria harus dilepaskan pada 16 Juli 2020 mendatang.
"Tahun lalu ditangkap oleh Serbia, ditahan di sana, dan Serbia memberitahukan kepada Indonesia. Ini menjadi sangat penting kita kejar sekarang karena tanggal 16 Juli yang datang ini secara hukum dia harus dilepas oleh Pemerintah Serbia," ujar Yasonna.
Oleh karena itu, Yasonna dan tim delegasi segera merapat ke Serbia untuk menjemput Maria. Beruntung, Presiden Serbia Aleksander Vucic mau membantu agar Maria mempertanggungjawabkan perbuatannya dan diadili di Indonesia.
"Itu sebabnya kami harus cepat-cepat ambil, karena pengacaranya terus melakukan manuver," tegas Yasonna.
Yassona mengungkapkan, sempat ada sejumlah upaya intens dari sebuah negara untuk mencegah proses ekstradisi terhadap Maria. Yasonna tidak menjelaskan secara rinci negara yang dimaksud.
"Selama proses ada negara dari Eropa yang lakukan diplomasi agar yang bersangkutan (Maria) tidak diekstradisi dan meminta ke pemerintah Serbia agar beliau (Maria) diadili saja di Belanda" kata Yasonna.
Tak hanya itu, kuasa hukum Maria di sana juga ikut melakukan upaya-upaya hukum agar kliennya tidak diekstradisi dari Serbia. Yasonna bahkan mengaku mendapat informasi bahwa sempat ada upaya suap terhadap pihak Serbia agar Maria tidak dibawa ke Indonesia.
"Saya dapat informasi, ada upaya suap. Tapi pemerintah Serbia berkomitmen," kata dia.
Hal tersebut, kata Yasonna, menjadi penyebab lamanya proses Maria sampai akhirnya dibawa ke Indonesia. Padahal, Maria sudah diringkus oleh pihak interpol Serbia sejak 16 Juli 2019.
Sepanjang 17 tahun pelariannya, Maria diketahui kerap kali bolak-balik Singapura-Belanda. Bahkan, yang bersangkutan sempat dinyatakan memiliki kewarganegaraan Belanda pada 1979. Pemerintah sempat mengajukan ekstradisi ke pemerintah Kerajaan Belanda pada 2010 dan 2014. Namun permintaan tersebut ditolak.