Jumat 10 Jul 2020 13:41 WIB

BKKBN Soroti Sulitnya Warga Mengakses Layanan Kontrasepsi

BKKBN memperkirakan terjadi peningkatan kehamilan yang tak dikehendaki.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Friska Yolandha
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat memberi keterangan masalah kependudukan, di Gedung Halim I BKKBN, Jakarta Timur, Jumat (10/7).
Foto: Republika/Inas Widyanuratikah
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo saat memberi keterangan masalah kependudukan, di Gedung Halim I BKKBN, Jakarta Timur, Jumat (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat sejumlah masalah yang terjadi selama pandemi berkaitan dengan layanan keluarga berencana. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan secara umum masalah yang muncul adalah adanya kelompok pasangan usia subur yang tidak mudah mengakses layanan kontrasepsi.

"Secara umum banyak angka-angka yang dirilis oleh berbagai lembaga, itu memberikan angkanya cukup besar," kata Hasto, dalam konferensi pers di Gedung BKKBN, Jumat (10/7).

Baca Juga

Hasto mengatakan, terkait hal ini pihaknya menyikapi dengan lebih teliti mengenai apa yang terjadi di Indonesia. "Seperti apa layanan yang tidak bisa diakses, seperti apa penurunan dan seperti apa dampak dari penurunan itu," kata dia lagi.

Terkait dampak jangka pendek, lanjut Hasto kehamilan yang tidak dikehendaki diperkirakan akan mengalami peningkatan. Hal ini berhubungan dengan akses yang tidak mudah di masa pandemi dengan pembatasan sosial di berbagai daerah.

Sebelum pandemi, Indonesia memiliki angka cukup tinggi soal kehamilan yang tidak atau belum dikehendaki. Secara umum, angka kehamilan yang tidak dikehendaki di Indonesia sebesar 17 persen.

"Bahkan di kota-kota besar justru tinggi, di DKI 26 persen, di Jogja 24 persen, dan seterusnya," kata dia menambahkan.

Tentunya, lanjut dia, dampak kehamilan yang tidak dikehendaki ini bisa meningkatkan angka perceraian. Kebahagiaan rumah tangga menjadi terganggu karena adanya sesuatu yang tidak dikehendaki.

Selain itu, kehamilan yang tidak dikehendaki juga berisiko meningkatkan angka stunting. Sebab, kehamilan yang tidak dikehendaki biasanya tidak diketahui dan baru disadari ketika usianya di atas satu bulan. Padahal, pada satu bulan pertama sangat penting untuk memenuhi kebutuhan calon bayi agar memiliki masa perkembangan yang baik.

Mantan Bupati Kulon Progo ini menjelaskan, bahaya dari kehamilan yang tidak diinginkan lainnya adalah kematian ibu dan kematian bayi. "Peran BKKBN secara nasional terkait dengan masalah kependudukan, kami sendiri harus berusaha mengoptimalkan seperti apa peran yang terbaik bagi kependudukan," kata dia lagi.

Sementara itu, Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani menjelaskan, secara global, pada masa pandemi diperkirakan ada 7 juta kehamilan yang tidak dikehendaki. Fenomena ini diperkirakan akan banyak terjadi di negara-negara berkembang.

"Karena kita tahu, masalah akses ini ada di negara berkembang," kata Dwi.

Ia juga menambahkan, masalah kependudukan yang diperkirakan muncul pada masa pandemi adalah kekerasan berbasis gender di seluruh dunia. Selain itu, kesulitan ekonomi juga berpotensi menjadi dorongan masyarakat untuk melakukan pernikahan dini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement