REPUBLIKA.CO.ID, UNGARAN — Orang tua siswa kelas IX SMPN 5 Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, mengeluhkan besaran pungutan oleh sekolah yang akumulasi besarannya mencapai ratusan ribu rupiah. Mereka menganggap besaran pungutan tersebut bakal menambah beban orang tua siswa. Apalagi, hal itu dilakukan di tengah situasi sulit, akibat dampak pandemi Korona yang belum kunjung mereda.
“Bahkan sejumlah komponen pungutan yang dimaksud mestinya sudah bisa dicover oleh Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tidak perlu dibebankan lagi kepada siswa,” ungkap Tika (46 tahun) salah satu orang tua siswa, Jumat (10/7).
Dia mengaku, menjelang dimulainya tahun ajaran baru 2020/ 2021, setiap siswa kelas IX bakal dipungut Rp 725 ribu. Hal ini terungkap dalam rapat yang dilaksanakan pihak sekolah dengan orang tua/wali siswa kelas IX.
Adapun komponen dari pungutan tersebut, antara lain terdiri atas buku ujian Rp 150 ribu, foto ijasah Rp 30 ribu, tambahan jam pelajaran Rp 70 ribu, penulisan ijasah dan fotocopy Rp 25 ribu serta katalog Rp 65 ribu.
Selain itu juga kenang-kenangan untuk sekolah Rp 50 ribu, biaya wasanawarsa Rp 200 ribu, konsumsi untuk guru penjaga ujian Rp 60 ribu, sewa Genset Rp 25 ribu dan untuk mujahadah Rp 25 ribu.
Baginya pungutan ini sangat membebani, apalagi kapan kegiatan belajar tatap muka di sekolah sudah bisa dimulai juga belum ada kepastian. Karena harus pertimbangan keamanan zona persebaran virus Korona.
Dia juga mengaku, terkait dengan uang tersebut memang belum dibayarkannya atau oleh orang tua siswa yang lain, karena baru disampaikan pihak sekolah saat pertemuan dengan orang tua/ wali siswa.
Namun yang masih menjadi pertanyaan baginya, kalau komponen tersebut bisa dicover oleh BOS, kenapa masih dibebankan kepada orang tua siswa. “Katanya sekolah gratis sudah dibiayai BOS, tetapi masih akan dipungut Rp 725 ribu per siswa,” tambahnya.
Apalagi, lanjut Tika, dari beberapa komponen biaya yang dibebankan kepada siswa tersebut masih ada yang membuatnya kurang sreg. Seperti misalnya biaya konsumsi untuk pengawas ujian.
Katanya sekolah menyiapkan untuk makan dengan besaran Rp 15 ribu per pengawas. Karena ujian berlangsung selama empat hari maka besarannya 15 ribu x 4 mencapai Rp 60 ribu per pengawas yang dibebankan kepada tiap siswa.
Karena pengawas ujian itu kan satu ruangan hanya satu orang, tapi semua siswa dibebani Rp 60 ribu per siswa. “Kalau satu ruangan ada 15 siswa, masa satu pengawas makannya sampai 15 porsi per hari,” tambahnya.
Tika juga menjelaskan, dalam pertemuan tersebut ia memang tidak sempat menyampaikan keberatan. “Karena memang waktunya terbatas dan sepertinya tidak ada kesempatan untuk berkomunikasi dua arah dan kesannya bukan rapat tapi hanya pemberitahuan,” lanjutnya.
Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disdikbudpora) Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo yang dikonfirmasi mengaku, sudah mendengar perihal keluhan beberapa orang tua siswa tersebut.
Menurutnya, kondisi yang di SMPN 5 Ambarawa memang memungkinkan pihak sekolah memebebankan sebagian kebutuhan siswa kepada orang tua dengan landasan musyawarah pihak sekolah, komite sekolah serta orang tua/ wali siswa.
Sebab kondisi sekolah di Kabupaten Semarang tidak semuanya sama, termasuk dengan jumlah siswanya. “Artinya sekolah dengan jumlah siswanya yang terlalu sedikit pasti beban orang tua juga menjadi lebih,” katanya.
SMPN 5 Ambarawa, jelas Sukaton, kategorinya sekolah dengan siswa yang sedikit atau Indeks Satuan Pendidikannya kurang. APBD tidak bisa mengcover semuanya kalau itu dibebankan kepada pemerintah.
Demikian halnya, meskipun sudah ada dana BOS, jika sekolah tidak bisa mengkover, masih bisa membebankan kepada orang tua sepanjang dilaksanakan melalui landasan musyawarah dan kesepakatan bersama.
Persoalan ini telah diatur dalam regulasi Permendikbud Nomor: 75 Tahun 2015 tentang Komite Sekolah. “Bahwa pendidikan itu milik kita bersama, maka itu masuknya sumbangan untuk kepentingan siswa bukan pungutan,” katanya.
Terkait dengan adanya keluhan dari orang tua siswa di SMPN 5 Ambarawa ini, Sukaton juga mengatakan boleh disampaikan, namun juga harus dicek kembali duduk persoalan seperti apa.
Sehingga kuncinya saat diajak musyawarah orang tua diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat harus dimanfaatkan. “Jadi apapun keputusannya itu merupakan hasil musyawarah yang melibatkan semua stakeholder di sekolah tersebut,” tegasnya.