REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penganiayaan saksi bernama Sarpan di Polsek Percut Sei Tuan, Sumatera Utara menambah rentetan kasus penganiayaan yang dilakukan polisi saat proses penyidikan. Terkait rentetan kasus ini, Polri membantah adanya kelonggaran pengawasan terhadap proses penyidikan oleh polri
"Tidak juga, terkait penyidikan kita sudah ada perkapnya yang mengatur itu terkait penyidikan tindak pidana bagaimana prosedur laporan kemudian bagaimana penahanan sampai kasus itu bisa disidik itu semua sudah diatur," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Brigjen Awi Setiyono membantah tudingan kelonggaran pengawasan aparat.
Awi mengklaim, proses penyidikan Polri dilakukan sesuai Perkap (Perintah Kapolri) untuk memperbaiki sistem manajemen tindak pidana. Terkait pengawasan, Awi juga mengatakan bahwa sistem pengawasan yang dilakukan Polri berjenjang dari Polres sampai Mabes Polri.
Jenjang pengawasan Polri dilakukan oleh oleh Divisi Profesi dan Keamanan dan turunannya, serta Inspektorat Pengawasan Daerah dan turunannya. Adanya pelaporan kasus di Polsek Percut Sei Tuan justru diklaim Awi sebagai bentuk transparansi dalam pengawasan penyidikan pidana.
"Ini kan sebagai bentuk transparansi itu kan ada kejadian itu, kita langsung turun begitu. Jadi apa pun kalau ada pelanggaran kita akan dudukan permasalahannya, kalau memang laporan betul tentunya akan kita tindak secara tegas," kata Awi.
Menurut laporan pengaduan yang masuk ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras) sejak 2011 sampai 2019, tercatat ada 445 kasus dugaan penyiksaan tahanan oleh polisi dengan 693 korban.
Bahkan dalam laporan terbarunya, Kontras menyebut Polri angka penyiksaan oleh polisi masih tinggi, yakni 48 kasus. Hasil itu didapatkan melalui survei yang KontraS lakukan sejak Juni 2019 hingga Mei 2020. Rinciannya, 28 kasus di kepolisian resor, 11 kasus di kepolisian sektor, dan 8 kasus di kepolisian daerah.
Peneliti Kontras Rivanlee Anandar menganalisis sejumlah penyebab penyiksaan kerap dilakukan oleh aparat. Pertama, kata Rivanlee, ada semangat 'menghukum orang' yang tinggi di kalangan penyidik.
Kedua, aparat kerap ingin segera menuntaskan kasus tanpa memahami persoalan secara komprehensif. Ketiga, Rivanlee menghubungkannya dengan relasi kuasa.
"Relasi kuasa dan kultur kekerasan yang membudaya di tubuh kepolisian," ujar Rivanlee pada Republika, Sabtu (11/7).
Dengan berulangnya kasus penyiksaan oleh aparat polisi, Kontras menduga proses pengawasan di internal institusi hukum tak berjalan sebagaimana mestinya. "Jangan-jangan, selama ini proses pengawasan tidak berjalan dengan maksimal, sehingga penyidikan kerap diiringi praktik penyiksaan dan berulang," kata dia.