REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Amerika Serikat (AS) menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan untuk mengubah kembali bangunan Hagia Sophia di Istanbul sebagai masjid.
Melalui pernyataan juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Morgan Ortagus, pada Jumat (10/7), dilansir di RT World News, AS menyatakan kecewa dan sekaligus berharap rencana Turki untuk tetap membiarkan Hagia Sophia dapat diakses tanpa hambatan bagi semua kalangan dapat terwujud nantinya.
Sebelum adanya dekrit dari Erdogan terkait status bangunan tersebut, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan bahwa pengubahan itu akan mengancam kemampuan Hagia Sophia untuk melayani umat manusia.
Saat menjadi museum, Hagia Sophia dipandang sebagai jembatan yang sangat dibutuhkan antara mereka yang berbeda dari budaya dan tradisi agama.
Setelah mengeluarkan dekrit mengubah Situs Warisan Dunia UNESCO itu ke direktorat agama, kemarin Jumat Erdogan mengumumkan bahwa adzan akan mulai berkumandang lagi dari bangunan abad keenam itu pada 24 Juli 2020 mendatang.
Meskipun akan difungsikan ulang sebagai masjid, namun Erdogan berjanji akan mengizinkan semua orang dari berbagai kalangan agama untuk mengunjungi situs ikonik tersebut.
Sebelumnya, rencana mengubah Hagia Sophia menjadi masjid telah menuai banyak kritikan. Sejumlah negara termasuk Yunani, Prancis, Siprus, dan Uni Eropa, mengkritik dan menyesalkan langkah Erdogan tersebut.
Sementara itu, UNESCO menyesalkan fakta bahwa Erdogan tidak berkonsultasi dengan lembaga PBB ini sebelumnya. Sedangkan Patriark Kirill dari Gereja Ortodoks Rusia juga menyebut keputusan itu ancaman bagi seluruh peradaban Kristen.
Hagia Sophia dibangun Kaisar Bizantium Justinianus pada 537. Hagia Sophia berpindah tangan antara agama Ortodoks dan Katolik.
Hingga kemudian, penaklukan Ottoman atas Konstantinopel pada 1453, mengubah bangunan tersebut menjadi masjid. Namun, Hagia Sophia kemudian dialihfungsikan sebagai museum oleh pemerintah sekuler Turki pada 1934.