Ahad 12 Jul 2020 04:31 WIB
Hagia Sophia

Hagia Sophia, Mesquita Alhambra: Bila Erdogan Abaikan Barat?

Agenda politik dan Islamophobia di nalik Hagia Sophia

Pembacaan Surat Al-Fath di Hagia Sophia Turki
Foto: Anadolu Agency
Pembacaan Surat Al-Fath di Hagia Sophia Turki

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

''Sejarah bukan untuk diratapi, tapi disikapi!" Nasihat ini kiranya bijak ketika melihat keriuhan media massa internasional meributkan keputusan presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, mengembalikan fungsi Haga Sophia menjadi masjid. Saluran TV bergengsi seperti CNN hingga Al Jazirah, hingga salurna berita TV Prancis, Jerman, Inggris dan Rusia sibuk menyiarakan 'breaking news'. Harian New York sibuk membuat hal yang sama pada laman media daringnya.

Hagia Sophia menjadi masjid dari yang semenjak tahun 1920-an dijadikan museum oleh bapak sekularisme barat Turki, Mustafa Kemal Atatürk, meniup kehebohan. Banyak negara barat hingga Amerika Serikat mengutuknya. Organisasi dunia seperti Unesco ikut-ikutan menyayangkannya dengan alasan Hagia Sophia adalah 'warisan dunia'.

Melihat kenyataan itu maka perlu bertanya ada apa ini? Apakah ini soal agama atau sudah soal politik yang di dalamnya diam-diam terus mengidap Islamophobia di kalangan negara Barat. Ini misalnya terlihat pada sibuknya negara mungil yang pernah punya kebudayaan tinggi hingga mitologi dewa-dewi Yunani. Negara yang dahulu kala berjaya dan kini menadi negara paria dalam Uni Eropa ikut-ikutan mengutuknya. Padahal semua tahu negara itu kini adalah negara yang bangkrut secara ekonomi sehingga harus selalu disuntik habis-habisan oleh negara Eropa kaya yang bergabung dalam Uni Eropa. Maka sungguh lucu.

Semua tahu langkah Erdogan bisa disebut pula ada motif politik. Tapi negara Barat pura-pura lupa dengan menutup mata telinga saat Kemal Ataturk menutup Hagia Sophia sebagai masjid dan menggantikannya sebagai museum. Mereka kala itu diam saja, tak berisik ribut. Motfnya jelas, karena apa yang dilakukan Kemal sebangun dengan pikirannya. Ini pula yang menabalkan sikap Eropa bahwa mereka sellau merasa 'lebih tinggi' dari pada Turki.

Battle over whether Turkey's Hagia Sophia should be a mosque or ...

  • Keterangan gambar: Ornamen di kubah langit-langit Haghia Sophia.

Nah, kini kondisinya terbalik. Sejak Necmettin Erbakan dan partainya Keadilan Islam berkuasa pada yahun 1996, Turki berubah total. Di awali dengan lompatan belenggu krisis ekonomi 1998,  Turki melesat jauh. Dalam satu dekade Turki mampu merubah diri sebagai negara makmur dengan pendapatan perkapita pada PDB per kapita mencapai 11.014 dolar AS (2015), 22.021 dolar AS (2017), 9.692,567 dolar AS (2018), 9,126.936 USD pada 2019.

Maaf, jangan dibandingkan dengan Indonesia yang dari  1998 sampai kini pendapatan perkapitanya penduduknya hanya mampu mencapai 3.893,60 dolar AS ‎(2018), 4,193.109 USD pada 2019, tapi sudah sibuk mengklaim karena dipuji IMF dan Amerika Serikat sebagai negara maju. Adanya PDB ini jelas Indonesia belum masuk dalam negara yang mapan dalam berdemokrasi yang menurut mantan Wapres Boediono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di UGM batas kritisnya harus mencapai sekitar 6.600 dolar AS.

Turki hari ini memang berbeda dengan kala Kemal Ataturk dan berbagai rezim penggantinya berkuasa. Semua tahu tak hanya membuat Haga Sophia menjadi museum, karena saking 'ngebetnya' pada sekulerisme barat, semua yang berbau Islam di Turki dihabisi. Madrasah yang mengajarkan agama Islam dan bahasa Arab dia larang. Kurikulum pendidikan menjiplak barat habis-habisan. Adzan diganti memaka bahasa Turki. Topi tarbus yang berkuncir itu tak diperbolehkan dikenakan. Pendek kata Turki kini adalah Eropa, identitas Ottoman dihapus karena dianggap ketinggalan zaman.

Tapi impian Kemal tak membuat Turki maju layaknya Eropa. Negara ini tetap berantakan.Sampai para penguasa penggantinya Turki pun tetap terpuruk. Baru ketika rezim berganti kepada partai yang mengusung semangat ke-Islaman yang dipimpin Erbakan, Turki bisa berubah. Dan semakin dipuncak sejak Erdogan berkuasa dalam satu dekade terakhir. Ini jelas menimbulan keirian dari para 'Kemalis' yang mengklaim diri sebagai kaum nasionalis. Mereka terus berupaya menjatuhkan Erdogan, dari cara biasa hingga mengerahkan tentara dalam kudeta militer. Tapi semua itu gagal total. Erdogan tetap saja kuat.

Bagi Erdogan sendiri menjadi orang Eropa tak lagi jadi keinginan. Dahulu di awal pergantian rezim di dekade akhir 1990-an, masih ada keinginan bergabung dalam Uni Eropa. Tapi oleh dia kemudian ditolak mentah-mentah. Apalagi Erdogan tahu ada sikap dasar Eropa yang masih anti atau phobia terhadap Turki. Dia tahu ada elite agama di Eropa yang terang-terangan menolak Turki menjadi bagian Eropa karena Turki itu Muslim dengan mengatakan akar kebudayaan Eropa adalah Kristen. Jadi tak sesuai dengan Eropa!

Erdogan tahu itu karena sebenarnya hanya igauan saja, sebab akar Eropa adalah budaya kaum pagan. Dan sikap anti Turki ini diperlihatkan secara jelas ketika dia berpidato di acara resmi kenegaraan pada sebuah negara Eropa, omongannya selaku presiden berulangkali dipotong seorang pembawa acara karena menyebut akar Turki adalah Ottoman dan Muslim. Kala itu Erdogan memutuskan pergi sembari menyatakan sikap itu kurang ajar sebab Turki adalah negara besar dan makmur dengan penduduk lebih dari 80 juta orang. Tak sebanding dengan negara yang kala itu dia kunjungi.

 

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement