REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Supremasi kulit putih dilaporkan telah membunuh sekitar sembilan kali lebih banyak orang Amerika daripada yang dilakukan ekstremis Muslim selama serangan teroris yang dilakukan di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (9/7) oleh Basis Data Terorisme Global (GTD) dari Konsorsium Nasional untuk Studi Terorisme dan Tanggapan terhadap Terorisme.
Laporan tahunan tersebut berbagi tentang data yang dikumpulkan GTD sepanjang 2019, tentang serangan teroris yang dilakukan di Amerika Serikat dan luar negeri, serta membandingkannya dengan informasi yang dikumpulkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Data termasuk jumlah serangan yang dilaporkan di masing-masing negara, target serangan itu, jumlah korban dan pelaku yang terbunuh serta organisasi di balik setiap insiden.
Menurut laporan GTD, penembakan massal di sebuah pusat perbelanjaan di El Paso, Texas, pada Agustus 2019 dan di sebuah masjid di Christchurch, Selandia Baru pada Maret 2019 hanyalah dua contoh kalangan atas dari peningkatan tajam dalam hal serangan teroris yang bermotif secara etnis dan ras yang mematikan yang terlihat dalam beberapa tahun terakhir.
Banyak di antaranya dimotivasi supremasi kulit putih, xenofobia, dan keyakinan anti-imigran. Xenofobia adalah ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain atau yang dianggap asing.
Laporan itu menunjukkan, bahwa jumlah korban yang terbunuh dalam serangan jenis khusus semacam itu hampir tiga kali lipat dalam rentang waktu empat tahun. Angkanya meningkat dari 26 pada 2015 menjadi 89 pada 2019.
Sementara itu, GTD mengatakan bahwa serangan teroris yang dilaporkan secara global sebenarnya telah menurun 50 persen sejak mencapai angka tinggi dari sekitar 17.000 serangan yang mengakibatkan sekitar 44.000 kematian pada 2014. Di Amerika Serikat, tercatat 64 korban tewas dalam 34 serangan teroris oleh supremasi kulit putih dan nasionalis kulit putih antara 2015 dan 2019.
Satu-satunya kelompok dengan lebih banyak kematian yang dikaitkan dengan serangan mereka adalah para ekstremis yang diilhami jihad. Meskipun demikian, GTD mengatakan bahwa para ekstremis anti-pemerintah sepadan dengan angka kematian supremasi kulit putih.
Sebagai perbandingan, laporan tersebut menunjukkan bahwa tujuh orang tewas di Amerika Serikat selama periode waktu yang sama sebagai akibat dari serangan teroris ekstremis Muslim.
Meskipun supremasi kulit putih telah menjadi titik perhatian di AS selama bertahun-tahun, perhatian pada serangan bermotivasi rasial oleh supremasi kulit putih telah meningkat sejak Presiden Donald Trump menjabat pada 2016.
Beberapa dari perhatian itu telah dikaitkan dengan keraguan Trump untuk mengutuk nasionalis kulit putih selama masa jabatan tahun pertamanya. Hal itu diungkapkannya setelah ada aksi yang digelar dalam rangka memprotes patung Konfederasi Jenderal Robert E Lee di Charlottesville, Virginia, berubah mematikan.
Baru-baru ini, Trump juga dikritik karena menyebut para pengunjuk rasa yang berdemonstrasi mendukung gerakan Black Lives Matter itu bersifat anarkis dan menyebutnya 'teroris'. Ia juga dikritik karena berbagi video di Twitter, di mana satu orang dapat didakwa karena meneriakkan 'kekuasaan kulit putih (white power)'.
Sementara itu, laporan Biro Investigasi Federal menunjukkan bahwa kejahatan rasial juga meningkat di Amerika Serikat dalam beberapa tahun terakhir. Menurut The New York Times, kekerasan yang terkait dengan kejahatan rasial pada 2018 adalah yang tertinggi dalam 16 tahun. Meskipun, jumlah yang dilaporkan diperkirakan setengah atau kurang dari jumlah total insiden yang benar-benar terjadi.
Uptick dalam kekerasan adalah bagian dari tren yang muncul, di mana pelaku semakin bertindak sendiri atau tanpa dukungan kelompok tertentu. Menurut GTD, rincian tersebut membuatnya sulit untuk mengkategorikan insiden yang terjadi.
Dalam laporan tersebut dikatakan, bahwa pelaku terorisme di AS telah menjadi begitu longgar terorganisir, jarang berafiliasi dengan organisasi formal, dan dimotivasi beragam ideologi.
"Ideologi-ideologi ini sering tumpang tindih, sampai-sampai sulit untuk mengklasifikasikan identitas pelaku atau pelaku secara langsung," demikian dinyatakan dalam laporan tersebut, dilansir di News Week, Sabtu (11/7).