REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Herman Kadir, Mantan Kuasa Hukum terpidana Pembobol Bank BNI Eddy Santoso angkat bicara soal kasus pembobolan Bank BNI yang melibatkan Maria Pauline Lumowa. Dia berbicara soal tindak lanjut aset sitaan Maria Pauline yang mesti dikawal.
Herman Kadir merupakan pengacara Eddy Santoso yang saat itu menjabat sebagai Kepala Customer Service Luar Negeri Bank BNI Cabang Kebayoran. Eddy bersama seorang tersangka lainnya, Koesadi menjadi pihak yang bersalah karena mengeluarkan dana Rp 1,7 triliun dalam bentuk Letter of Credit (L/C), untuk Grup Gramarindo, perusahaan Maria Pauline dan Adrian Waworuntu.
Kepada Republika, Herman mengaku, langsung menghubungi Eddy Santoso saat berita ekstradisi Maria Pauline muncul. Ternyata, kata Herman, Eddy bersama terdakwa maupun saksi lain sudah menjalani BAP sekitar sebulan sebelum Maria dipulangkan.
"Jadi Maria Pauline ini sudah dari sebulan lalu sudah ditahan nah itu baru dibawa pulang ke sini pulang. Ditahan di Serbia. Ketika dia ditahan klien saya diperiksa. Yang lain sudah diperiksa semua," kata Herman, Sabtu (11/7).
Terkait kasus Maria Pauline sendiri, Herman Kadir menyoroti aset-aset yang disita. Sebagaimana diketahui, Maria Pauline membobol duit BNI hingga mencapai Rp 1,7 trilliun. "Sebenarnya yang perlu dikhawatirkan itu aset-aset bank yang disita. Itu kan aset Maria Pauline dan Gramarindo, itu kan banyak pak," kata dia.
Herman mengingat, setidaknya ada tanah seluas 60 hektare di Tanjung Priok Jakarta, dan Bukit Batu untuk tambang Keramik di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang nilainya juga ratusan miliar.
Selain itu, lanjut Herman, ada pula kapal pesiar yang dibeli di Amerika Serikat. Kemudian ada pula rumah Maria Pauline di bilangan Kemang, Jakarta Selatan dengan nilai yang diprediksi mencapai ratusan miliar. Herman meyakini, masih banyak aset lain yang dimiliki Maria Pauline.
"Saya ingat ada uang 217 ribu USD pernah disita juga, itu dikemanain rimbanya gak jelas. Saya tanya BNI belum pernah menerima, BNI tidak mendapat apa apa. Itu dikembalikan ke negara atau ke BNI, itu kan yang dibobol BNI," kata Herman.
"Saya takutnya aset-aset itu semua sudah pada hilang, maklumlah perkara ini sudah lama sekali 17 tahun yang lalu, bayangkan sudah tiga kali pergantian rezim," ujarnya menambahkan.
Herman menegaskan, dalam perkara pencucian uang ini, yang terpenting itu adalah aset-aset itu kembali. Nilai L/C bodong sebabnyak 1,7 Triliun dari 81 L/C, dan yang sempat di Blokir sama BNI hanya sebesar Rp 500 miliar. Jadi, kerugian negara pada 17 tahun yang lalu setidaknya masih Rp 1,2 triliun.
"Jadi memang Maria Pauline dan Adrian itu penerimanya. Yang terbesar menerima uang itu Maria Pauline," kata Herman.
Herman pun menilai, pemerintah dan penegak hukum perlu berlaku jelas dalam menindaklanjuti sitaan kekayaan hasil pembobolan oleh Maria Pauline. Di samping itu, dia berharap, agar masyarakat dan berbagai Komponennya turut mengawal kasus yang terjadi 17 tahun silam ini.