REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi menegaskan penolakan MUI terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Selain itu MUI juga menolak RUU penggantinya.
"MUI dan ormas-ormas Islam di dalamnya tegas menolak RUU HIP dan juga RUU penggantinya," kata Muhyiddin kepada Republika.co.id, Ahad (12/7).
Melalui sebuah maklumat, MUI berpandangan bahwa RUU HIP memeras pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong adalah nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Upaya itu secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945.
Dalam maklumat itu, RUU HIP juga dipandang menyingkirkan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap keberadaan Pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebagai dasar negara sehingga bermakna pula sebagai pembubaran NKRI yang berdasarkan pada lima sila tersebut.
Muhyiddin juga menyadari bahwa ada RUU yang hendak diajukan setelah RUU HIP ditolak, yaitu RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP). RUU ini adalah sebagai payung hukum Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Muhyiddin menjelaskan, MUI telah mengkaji keberadaan BPIP dalam agenda Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-7 yang digelar di Bangka Belitung pada Februari lalu. Dia mengatakan, saat itu telah disepakati bahwa adanya BPIP harus dibubarkan. KUII ke-7 mendesak presiden untuk mengembalikan penafsiran Pancasila kepada MPR, sebagaimana diamanatkan dalam sila ke-4 dalam Pancasila.
"Seluruh peserta KUII VII tahun ini yang berasal berbagai komponen umat Islam di Indonesia, pimpinan Majelis Ulama Indonesia se-Indonesia, pimpinan Ormas-Ormas Islam, Pimpinan organisasi kemahasiswaan kepemudaan (OKP) Islam, pengasuh pondok pesantren dan sekolah Islam, pimpinan perguruan tinggi Islam, dunia usaha, lembaga filantropi Islam, media, pejabat Pemerintah, partai politik, dan para tokoh Islam lainnya sepakat minta Presiden membubarkan BPIP," ujar Muhyiddin dalam KUII ke-7 ketika itu.
Lebih lanjut, Muhyiddin menambahkan, jika RUU sebagai payung hukum BPIP dipandang perlu, maka naskah akademik RUU tersebut harus dibuka ke publik. Hal ini agar publik bisa ikut mengkaji sekaligus mengkritisi RUU tersebut.