REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan reklamasi di kawasan Ancol dan mengeluarkan Keputusan Gubernur (Kepgub) Nomor 237 Tahun 2020 tentang Reklamasi Ancol, dinilai tanpa dasar. Pasalnya, langkah dan kebijakan tersebut tidak melibatkan DPRD DKI sebagai legislatif yang juga bertugas menjadi mitra pemerintah dalam setiap kebijakan.
Anggota DPRD dari Komisi E, Basri Baco, mengatakan, reklamasi ancol yang dilakukan Gubernur Anies tersebut tidak berdasar. Dan begitu juga Keputusan Gubernur (Kepgub) tidak bisa menjadi dasar.
Karena, menurut dia, setiap langkah eksekutif seharusnya melibatkan DPRD selaku legislatif. "Selama ini tidak ada Anies komunikasi ke DPRD soal reklamasi Ancol," katanya kepada wartawan, Ahad (12/7).
Sebab, menurut Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta ini, penyelenggara pemerintah itu di dalam Undang Undang ada eksekutif dan legislatif. Ini bicara aturan ketatanegaraan. Dan, dia merasa, DPRD DKI selama ini tidak pernah diajak bicara soal reklamasi Ancol.
Menurut dia, DPRD DKI tahunya Gubernur Anies menolak keras yang namanya reklamasi di Jakarta, sesuai janji kampanyenya. Apapun kegiatannya, selama menimbun tanah di area lautan dan menjadi daratan, itu namanya reklamasi, baik di Ancol ataupun di mana pun di utara Jakarta, tetap saja menurut dia, namanya reklamasi.
Dan, dia menilai, klaim Anies yang menyebut reklamasi di Ancol ini berbeda dengan reklamasi 17 pulau yang telah dihentikan sebelumnya. Dia meminta masyarakat cerdik menilai perkataan Anies ini.
Sebab, Anies menyebut reklamasi Ancol ini justru mencegah banjir, karena mengambil tanah hasil urukan normalisasi kali dan setu di Jakarta. Padahal, tidak ada korelasinya reklamasi Ancol dengan mencegah banjir.
"Menurut saya nggak masuk akal, reklamasi Ancol kok mencegah banjir. Itu menurut saya bohong dan nggak ada korelasinya. Benar kalau mau normalisasi kali itu keruk kali, keruk setu dan gorong-gorong, tapi ini kan malah minim dilakukan di zaman Anies. Itu sudah dilakukan di zaman Gubernur Foke, Jokowi dan Ahok, bukan Anies," ujarnya.
Sehingga, munculah tanah reklamasi yang sekarang ada di Ancol. Jadi, menurut dia, bukan Anies yang masif mengeruk kali, setu dan saluran gorong-gorong di Jakarta. Justru Gubernur DKI sebelumnya yang melakukan itu. "Itulah hasil urukannya berasa di timur Ancol. Kalau mau maksimalkan urukan di sana saja," ujarnya.
Sehingga, kata Basri, tidak perlu lagi yang namanya Kepgub nomor 237 tahun 2020 tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas sekitar 35 hektare dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas 120 hektare. Menurut dia, jumlah lahan seluas 155 hektare terlalu luas dan sangat berlebihan.
"Ada baiknya kalau butuh lahan untuk pembangunan, gunakan saja lahan tanah urukan yang sudah ada di Ancol, atau lahan hasil empat pulau yang kemarin sempat disetop Anies izin reklamasinya. Luas lahan itu sudah lebih dari cukup untuk bangun Ancol, atau fasilitas publik lain," ujarnya.
Penolakan yang sama disampaikan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Koalisi Kawal Indonesia Lestari (Kawali). Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi menegaskan, tetap menolak tegas upaya reklamasi Ancol yang dilakukan Gubernur Anies dan Pemprov DKI Jakarta.
Menurut dia, Kepgub nomor 237 tahun 2020 yang memberi izin reklamasi hingga 155 hektare itu telah menjadi preseden buruk bagi kelestarian lingkungan di Teluk Jakarta. Menurut dia, saat ini, tidak ada pentingnya mereklamasi pesisir dan Teluk Jakarta, terlebih hingga seluas 155 hektare. "Apa urgensinya mereklamasi hingga 55 hektare?," kata dia.
Alih-alih mencabut izin reklamasi empat pulau sebelumnya, kini Anies justru yang melakukan sendiri reklamasi tersebut. Karena itu, dia meminta, Anies atau Pemprov DKI membatalkan upaya reklamasi Ancol tersebut. Termasuk mencabut kembali Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 237 tahun 2020 tentang reklamasi Ancol seluas 155 hektare.
Hal yang sama disampaikan Koalisi Kawali lingkungan Indonesia Lestari (KAWALI), Ketua Umum Kawali Puput TD Putra menyebut Keputusan Gubernur no.237 tahun 2020 itu tidak berdasar pertimbangan scientific (keilmuan). Kemudian, kata dia, pembiaran pelanggaran penimbunan material dipantai depan wilayah jaya ancol selama 11 tahun ini, bisa terkena pasal 111 UU 32/2009.
"Hukumannya pidana karena penimbunan tersebut tidak ada kajian lingkungannya," sebutnya.
Dia menjelaskan, hasil pengerukan material lumpur baik dari sungai, waduk tanah hasil pengerukan, harus dikaji dulu kandungannya. Karena material itu bisa diindikasikan mengandung unsur B3, sehingga tidak boleh ditimbun di sembarang tempat seperti di pantai atau laut karena akan mencemari pantai dan laut.
"Gubernur juga tidak boleh menyederhanakan reklamasi, seolah ini tidak berdampak kepada nelayan. Terus apakah boleh melakukan reklamasi kalau tidak ada nelayan terdampak? Tetap saja itu tidak bisa dibenarkan. Jadi jangan nelayan dijadikan alasan untuk bertindak melanggar hukum," tegasnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan akhirnya bersuara soal polemik reklamasi Ancol dan keluarnya Keputusan Gubernur (Kepgub) nomor 237 tahun 2020. Kepgub itu tentang Izin Pelaksanaan Perluasan Kawasan Rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) Seluas sekitar 35 hektare dan Kawasan Rekreasi Taman Impian Ancol Timur Seluas 120 hektare.
Menurut Anies, pelaksanaan reklamasi Ancol ini berbeda dengan reklamasi 17 pulau yang sebelumnya telah dihentikan, karena melanggar aturan dan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Area reklamasi Ancol, sebut Anies, merupakan kawasan yang sebelumnya dijadikan tempat penimbunan tanah hasil pengerukan 13 sungai dan lebih dari 30an waduk di Jakarta. Dan itu sudah berjalan lebih dari 11 tahun. "Jadi ini adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah banjir Jakarta," ujar Anies.
Anies mengklaim, reklamasi atau penimbunan tanah yang dilakukan di kawasan timur Ancol ini tidak merugikan nelayan. Karena tidak berhadapan dengan kampung nelayan, sebagaimana 4 pulau reklamasi lain di Kapuk Muara dan Muara Angke yang kini telah dibangun dan dihentikan pengerjaannya.
Anies mengakui, hasil pengerukan lumpur dari sungai dan waduk di Jakarta yang ditimbun di kawasan Ancol telah berubah menjadi lahan reklamasi. Tetapi, beda sebabnya, beda maksudnya, beda caranya dan beda pemanfaatannya dengan reklamasi 17 pulau sebelumnya.
"Jadi masalahnya bukan soal reklamasi atau tidak reklamasi, tapi kepentingan umumnya dimana, rasa keadilan sosialnya dimana dan ketentuan hukumnya bagaimana," jelas Anies.
Kalau proyek reklamasi 17 pulau itu bukan untuk kepentingan umum dan melanggar aturan serta Amdal. Pelaksana reklamasinya oleh swasta dan peruntukkannya bagi pemilik modal. Sedangkan proyek reklamasi Ancol ini, kata dia, demi untuk kepentingan umum, mencegah wilayah Jakarta dari banjir dengan pengerukan sedimen sungan dan waduk dipindahkan ke Ancol.