Senin 13 Jul 2020 08:58 WIB

Ibu Bekerja Bingung Hadapi Model Pendidikan Paruh Waktu

Risiko penularan Covid-19 tak boleh lebih besar dari dampak emosional dan pendidikan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Friska Yolandha
Deretan foto siswa yang lulus pada 2020 di Brooklyn's James Madison High School, New York, Rabu (27/5).
Foto: AP Photo/Mark Lennihan
Deretan foto siswa yang lulus pada 2020 di Brooklyn's James Madison High School, New York, Rabu (27/5).

REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA -- April van Ert harusnya lega ketika sekolah putranya di Vancouver, Kanada kembali dibuka pada 1 Juni lalu. Selama sekolah ditutup karena pandemi virus corona Ert harus mengimbangi kerja dan pendidikan anaknya yang berusia 11 tahun.

Karena peraturan pembatasan sosial maka pemerintah menerapkan peraturan campuran, yakni satu hari masuk kelas dan sisanya belajar di rumah. Ert mengatakan bagi perempuan yang bekerja model ini 'benar-benar tidak bisa dipertahankan'.

Baca Juga

"Jika itu rencananya, bila ada kenaikan jumlah kasus pada musim gugur, maka saya tidak tahu bagaimana caranya saya menghindari pengurangan jam kerja saya," kata Ert, Ahad (12/7).

Banyak provinsi lain di Kanada yang juga ingin menerapkan model pendidikan yang sama seperti di Vancouver. Sebagian belajar di kelas dan sebagian lagi belajar dari rumah dengan metode pembelajaran daring.

New York juga sempat mempertimbangkan untuk menerapkan model yang sama. Tapi jumlah kasus infeksi di New York yang menjadi pusat wabah virus corona di AS belum menunjukkan penurunan.

Dewan sekolah, serikat guru, dokter, dan orang tua di New York pun menentang model tersebut. Mereka mengatakan risiko penularan Covid-19 tidak boleh lebih besar dari dampak emosional dan pendidikan anak-anak terhadap kebijakan karantina wilayah. Para pakar mengatakan model paruh waktu itu akan memperburuk kesenjangan ekonomi berdasarkan gender. Menurut mereka model ini akan merugikan perempuan karena akan banyak ibu yang di rumahkan atau dikurangi jam kerjanya.

"Di rumah dengan dua pemasukan, pembicaraan menjadi, bila harus kehilangan satu pemasukan, itu pemasukannya siapa? Kemungkinan besar perempuan yang akan mundur dari tempat kerjanya," kata Chief Executive Officer Women of Influence, Stephania Varalli.

Demi menahan laju penyebaran virus corona pemerintah Kanada sudah menutup seluruh sekolah di negeri itu sejak bulan Maret. Kebijakan ini berdampak pada 5,5 juta anak-anak.

Ekonom senior Capital Economics, Vicky Redwood mengatakan karena anak-anak di rumah dan jam kerja orang tua berkurang, perekonomian Kanada pun menyusut. Setiap bulannya Produk Domestik Bruto Negeri Pecahan Es itu turun 0,8 persen.

Data Badan Stasistik Kanada menunjukan selama pandemi virus korona lebih banyak perempuan yang di PHK dibandingkan laki-laki. Tidak hanya perempuan cenderung bekerja di sektor jasa tapi masalah anak-anak dan pendidikan mereka juga menjadi alasan perempuan sulit kembali bekerja.

Perempuan pendapatan menengah kebawah yang paling terdampak. Walaupun akhirnya lapangan kerja kembali meningkat. Tapi jumlah ibu dengan anak usai sekolah yang bekerja tidak akan sama seperti sebelum bulan Juni meskipun tempat penitipan anak kembali dibuka.

"Ibu-ibu kena pukulan ganda karena lebih berisiko kehilangan pekerjaan sebab pola penerimaan karyawan yang berbasis gender dan karena sekolah dan tempat penitipan anak ditutup," kata profesor di Carleton University, Jennifer Robson.  

Hilangnya pendapatan satu orang tua dapat berakibat jangka panjang bagi perekonomian sebuah keluarga. Terutama Kanada tengah menghadapi krisis ekonomi terburuk sejak Depresi Besar dan para pembuat kebijakan menyadari hal itu.

"Orang tua khawatir dan mereka memiliki hak untuk itu, perempuan kami harus kembali bekerja sehingga kami dapat memulai kembali mesin perekonomian kami," kata Menteri Perempuan Kanada Maryam Monsef.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement