Senin 13 Jul 2020 13:40 WIB

Penyerang Masjid Christchurch Menolak Didampingi Pengacara

Penyerang Masjid Christchurch itu berencana membela dirinya sendiri.

Rep: Mabruroh/ Red: Ani Nursalikah
 Penyerang Masjid Christchurch Menolak Didampingi Pengacara. File foto tidak bertanggal menunjukkan Masjid Al Noor di Deans Avenue, tempat penembakan massal, di Christchurch, Selandia Baru.
Foto: EPA-EFE/Martin Hunter
Penyerang Masjid Christchurch Menolak Didampingi Pengacara. File foto tidak bertanggal menunjukkan Masjid Al Noor di Deans Avenue, tempat penembakan massal, di Christchurch, Selandia Baru.

REPUBLIKA.CO.ID, WELLINGTON -- Brenton Tarrant, pelaku penyerangan dua masjid di Selandia Baru tidak ingin mendapatkan pendampingan pengacara. Brenton Tarrant ingin membela dirinya sendiri dalam sidang vonis di pengadilan bulan depan.  

Pengacara Tarrant, Richard Peters membenarkan, kliennya itu telah memutuskan tidak menggunakan jasanya untuk mendampinginya di pengadilan. Tarrant menyampaikan permintaannya tersebut melalui panggilan video dari dalam penjara dengan keamanan maksimum.

Baca Juga

"Karena Tuan Tarrant ingin mewakili dirinya sendiri dalam hukuman, saya akan menunjuk seorang pengacara untuk memenuhi peran penasihat hukum," kata hakim keadilan Cameron Mander, dalam sebuah pernyataan yang dilansir dari The Guardian, Senin (13/7).

Para penasihat bersiaga membantu terdakwa jika suatu saat nanti terdakwa ingin menerima bantuan penasihat hukum. Aya Al-Umari menyindir keputusan terdakwa yang menolak didampingi pengacara adalah untuk mendapatkan perhatian publik.

Al-Umari adalah saudara laki-laki Hussein Al-Umari yang terbunuh di Masjid al Noor. “Ini adalah taktik dia yang ingin terlihat relevan dalam berita dengan segala cara yang dia bisa," ujarnya.

Pengadilan akan menjatuhkan vonis kepada Tarrant pada 24 Agustus mendatang. Tarrant dituntut dengan tuntutan hukuman penjara seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Sebelumnya, belum pernah ada terdakwa yang mendapatkan tuntutan berat tersebut di Selandia Baru. 

Profesor Hukum di Massey University di Palmerston North, Chris Gallavin, berpendapat keputusan terdakwa yang menolak didampingi pengacara, merupakan tugas yang sangat berat bagi hakim untuk memastikan prosesnya dikontrol dengan ketat. Namun, tradisi hukum Selandia Baru yang keras, memungkinkan bagi Tarrant untuk memberikan argumennya yang terbatas, terutama jika dia ingin mengemukakan pandangan ideologisnya.

“Hakim tentu tidak bisa tidak memberikan kesempatan terdakwa berbicara, tetapi dia akan menerkamnya jika kesempatan tersebut digunakan untuk membela diri," kata Gallavin.

Hakim memiliki kendali atas bagaimana sidang akan berjalan. Hakim juga akan memberikan korban dan keluarga yang berduka menyampaikan pendapat mereka sebelum Tarrant berbicara.

Tarrant didakwa atas 51 tuduhan pembunuhan terhadap Muslim, 40 tuduhan percobaan pembunuhan, dan tuduhan tindak terorisme. Tarrant telah ditahan oleh kepolisian sejak 15 Maret 2019.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement