Senin 13 Jul 2020 14:35 WIB

New Normal yang Diakui Sebagai Kesalahan Penggunaan Istilah

Istilah new normal dianggap memicu pikiran semua bisa kembali normal seperti dulu.

Pengendara melintasi mural new normal di Jalan T.B Simatupang, Jakarta. Istilah new normal diminta digunakan secara berhati-hati agar tidak memicu kelengahan masyarakat di saat vaksin Covid-19 belum ditemukan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Pengendara melintasi mural new normal di Jalan T.B Simatupang, Jakarta. Istilah new normal diminta digunakan secara berhati-hati agar tidak memicu kelengahan masyarakat di saat vaksin Covid-19 belum ditemukan.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Sapto Andika Candra

Lebih 3.600 orang di Tanah Air telah meninggal akibat positif Covid-19. Sebanyak 75 ribu orang juga didiagnosa dengan virus corona jenis baru tersebut.

Baca Juga

Kasus positif Covid-19 namun belum juga menurun setelah Indonesia berhadapan dengannya dari Maret 2020. Kesalahan penggunaan istilah new normal atau normal baru setelah PSBB dihentikan diduga menyumbang tambahan pasien baru Covid-19.

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menjelaskan penggunaan istilah new normal yang sebelumnya diakui sebagai suatu kesalahan dalam penanganan pandemi Covid-19. "Soal new normal, setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak menggunakan new normal sekarang istilahnya adaptasi dengan keadaan yang baru. Kita tidak perlu ribut dengan istilah lah," kata Muhadjir di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (13/7).

Muhadjir menyampaikan hal itu seusai mengikuti rapat terbatas dengan topik "Percepatan Penanganan Dampak Pandemi Covid-19" yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo. Pada rapat tersebut, Presiden Jokowi menyoroti meningkatnya kasus positif di Indonesia dengan total kasus 75.699.

Sebelumnya Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto mengakui bahwa istilah new normal yang sering digunakan selama pandemi Covid-19 adalah diksi yang salah. Yuri mengatakan pemerintah menggunakan istilah adaptasi kebiasaan baru apalagi penggunaan istilah new normal dianggap masyarakat kembali berkegiatan seperti biasa tanpa memperhatikan protokol kesehatan.

"Karena kalau kita berangkat dari undang-undang, menurut UU No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, saat ini adalah masa transisi, rehabilitasi dan rekonstruksi sosial ekonomi tapi memang UU ini tidak terlalu kompatibel dengan bencana non-alam," ungkap Muhadjir.

Menurut Muhadjir, Komisi VIII DPR berinisiatif untuk merevisi UU No 24 tahun 2007 seiring dengan perkembangan yang ada. "Terutama karena kita sudah alami bencana wabah non-alam ini. Akan disesuaikan, nanti ada istilah khusus dengan UU yang baku. Jadi istilah new normal , lockdown itu memang tidak sesuai UU sehingga kalau kita gunakan harus berhati-hati, termasuk juga dengan (istilah) adaptasi baru itu juga tidak dalam UU," tambah Muhadjir.

Muhadjir mengatakan istilah new normal berasal dari pengusaha Roger McNamee yang menulis buku The New Normal: Great Opportunities in a Time of Great Risk. "New normal itu sebetulnya tidak ada urusannya dengan Covid-19 karena dia itu kan pialang modal ventura, dia bahas bagaimana dia memanfaatkan keuntungan besar dalam krisis besar jadi sebenarnya tidak ada urusannya dengan Covid-19 karena dia tulis itu di 2004 sebagai bentuk refleksi itu dari krisis moneter 1998," ungkap Muhadjir.

Muhadjir pun meminta agar istilah new normal dapat dipergunakan dengan berhati-hati. "Karena itu kita harus hati-hati menggunakan diksi itu, tapi ya tidak dilarang namanya juga istilah," kata Muhadjir.

Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta, Mujiyono menilai, bangkitnya ribuan kasus baru positif Covid-19 sejak PSBB masa transisi di Ibu Kota karena adanya pemahaman keliru oleh masyarakat terhadap normal baru. "Ini masyarakat kebablasan tidak berdisiplin dalam penerapan protokol kesehatan. Saya kira, anggapan normal baru di benak masyarakat selama ini keliru. Mereka menganggap, PSBB transisi ini kembali ke keadaan seperti sedia kala, seperti sebelum pandemi Covid-19 terjadi, padahal bukan," ujar katanya di Jakarta, Senin (13/7).

Akibatnya, lanjut dia, masyarakat secara umum cenderung abai terhadap protokol kesehatan yang terus digemborkan pemerintah. Menurutnya, pelonggaran PSBB harus tetap menerapkan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak, memakai masker dan mencuci tangan.

"Normal baru itu bukan normal. Tapi kondisi kehati-hatian dalam masa pandemi, selama vaksin belum ditemukan. Ini diterapkan untuk pergerakan ekonomi. Kalau ekonomi aman, bisa saja kemarin pemerintah menerapkan lockdown seperti Singapura," kata politikus Partai Demokrat itu.

Namun, kata dia, di Singapura kondisi ekonomi tidak bergerak selama tiga bulan karena hal itu tidak menyebabkan keuangan negara itu kolaps karena kemapanannya. "Lain halnya dengan Indonesia, saat PSBB diterapkan kondisi keuangan negara langsung terkontraksi. Itu yang harus disadari," ujar dia.

Teori konspirasi

Di sisi lain, sebagian masyarakat menolak untuk mempercayai fakta adanya Covid-19. Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sekaligus Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan masih ada sejumlah pihak yang tidak percaya dengan pandemi Covid-19 dan menganggapnya sebagai konspirasi.

"Masih ada sejumlah pihak yang menganggap COVID-19 ini konspirasi, Covid-19 ini rekayasa. Padahal kita semua sudah tahu bahwa korban jiwa di Tanah Air sudah melampaui angka 3.500, bahkan di dunia sudah melampaui angka 550 ribu jiwa, jadi ini nyata, ini fakta," kata Doni di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (13/7).

"Oleh karenanya semua pihak harus betul-betul memahami ini, menyampaikan pesan-pesan bahwa Covid-19 ini, mohon maaf ibaratnya adalah malaikat pencabut nyawa bagi mereka yang rentan," tambah Doni.

Untuk menekan penambahan kasus positif tersebut, menurut Doni, Presiden Jokowi meminta ada sosialisasi yang efektif, masif dan melibatkan seluruh komponen dengan kearifan lokal. "Para antropolog, sosiolog termasuk psikolog, tokoh-tokoh masyarakat khususnya para ulama ini juga menjadi penekanan bapak Wakil Presiden untuk melibatkan para ulama di seluruh daerah agar seluruh program sosialisasi ini bisa betul-betul dipahami dengan baik," ungkap Doni.

Wakil Presiden Maruf Amin juga menekankan pentingnya lebih banyak melibatkan ulama dan tokoh agama di daerah dalam sosialisasi protokol kesehatan demi menekan penularan infeksi virus corona. "Ini juga menjadi penekakan Wapres untuk melibatkan para ulama di seluruh daerah. Agar sosialisasi dipahami. Kenapa? Karena masih ada sejumlah pihak yang menganggap ini adalah konspirasi. Covid ini rekayasa," jelas Doni.

Padahal, ujar Doni, fakta dan data jelas-jelas menunjukkan bahwa jumlah pasien yang meninggal dengan status positif Covid-19 sudah tembus angka 3.500 di seluruh Indonesia. Di dunia, jumlahnya jauh lebih tinggi yakni 550.000 korban jiwa.

Covid-19 memang bisa menginfeksi orang yang sehat dan bugar secara fisik tanpa menunjukkan gejala apapun. Pasien ini disebut sebagai orang tanpa gejala (OTG). Pasien positif tanpa gejala inilah yang berbahaya karena tanpa sadar bisa menularkan Covid-19 kepada orang lain yang lebih rentan dan memiliki kualitas kesehatan lebih rendah.

Siapa saja yang kelompok rentan? Di antaranya adalah orang berusia lanjut di atas 60 tahun dan orang-orang yang memiliki komorbiditas atau penyakit bawaan seperti hipertensi, diabetes, penyakit jantung, penyakit ginjal, kanker, asma, TBC, dan penyakit lainnya.

Covid-19 yang menjangkit orang-orang rentan ini tentu lebih berbahaya ketimbang saat menjangkit mereka yang memiliki fisik lebih kuat. "Mohon kiranya mereka yang memiliki komorbid ini untuk tidak melakukan aktivitas dulu. Tidak melakukan kegiatan keluar rumah. Kalau toh harus keluar rumah pun harus menjaga jarak, menghindari kerumuan. Jangan mendatangi tempat berisiko terjadinya penularan," jelas Doni.

Hingga Ahad (12/7) jumlah terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia mencapai 75.699 orang dengan 35.638 orang dinyatakan sembuh dan 3.606 orang meninggal dunia. Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) mencapai 13.882 orang dan orang dalam pemantauan (ODP) berjumlah 38.705 orang dengan total spesimen yang diuji sudah sebanyak 1.061.367.

Kasus positif Covid-19 ini sudah menyebar di seluruh 34 provinsi di Indonesia dengan daerah terbanyak positif yaitu Jawa Timur (16.658), DKI Jakarta (14.517), Sulawesi Selatan (6.973), Jawa Tengah (5.473), Jawa Barat (5.077), Kalimantan Selatan (4.146), Sumatera Selatan (2.653), Sumatera Utara (2.323), Papua (2.267), Bali (2.195), Sulawesi Utara (1.660), Banten (1.593), Nusa Tenggara Barat (1.550), Kalimantan Tengah (1.196).

Berdasarkan data dari situs Worldometers, hingga Senin (13/7) pagi terkonfirmasi di dunia ada 13.035.942 orang yang terinfeksi virus corona dengan 571.571 kematian sedangkan sudah ada 7.582.035 orang yang dinyatakan sembuh. Kasus di Amerika Serikat mencapai 3.413.995 kasus, di Brazil 1.866.176, di India 879.466 kasus, di Rusia 727.162 kasus, di Peru 326.326 kasus, di Cili 315.041, di Spanyol 300.988 kasus, di Meksiko 299.750 kasus, di Inggris 289.603 kasus dan di Afrika Selatan 276.242 kasus.

Jumlah kematian tertinggi bahkan saat ini terjadi di Amerika Serikat yaitu sebanyak 137.782 orang, disusul Brazil yaitu sebanyak 72.151 orang, selanjutnya di Inggris sebanyak 44.819 orang, di Meksiko 35.006 orang, di Italia sebanyak 34.954 orang, di Prancis sebanyak 30.004 orang, di Spanyol sebanyak 28.403 orang, di India sebanyak 23.187 orang.

photo
Presiden Joko Widodo dan New Normal (Ilustrasi) - (republika/mgrol100)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement