REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengungkapkan alasan di balik penggunaan rapid test kendati akurasinya terbilang rendah, yakni jumlah kit PCR yang masih terbatas. Sejumlah pihak memang mendesak pemerintah untuk lebih memprioritaskan PCR test atau tes cepat molekular ketimbang rapid test yang selama ini digunakan sebagai syarat utama bepergian jarak jauh.
"Tetapi selama PCR ini belum terpenuhi maka jalan tengahnya untuk sementara dulu adalah rapid test," kata Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo seusai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (13/7).
Kendati demikian, Doni menekankan bahwa pemerintah memang berupaya agar PCR test dan tes cepat molekular (TCM) bisa digunakan lebih luas lagi, sebagai pengganti dari rapid test. Namun, menurut Doni, butuh waktu untuk sepenuhnya mengganti rapid test dengan PCR.
"PCR test harus menjadi prioritas utama. Walaupun sudah ada ketentuan dari Menkes untuk dilakukan rapid test, tetap kita akan berupaya arahnya ke depan adalah untuk PCR test. Karena memang ini menjadi tingkat akuratnya paling bagus, paling tinggi," katanya.
Selain itu, ujar Doni, Presiden Jokowi juga menekankan pentingnya memperluas pelacakan dan pengecekan apabila ditemukan ada satu saja kasus positif. Pelacakan dan tes Covid-19 harus dilakukan bukan hanya kepada mereka yang bestatus PDP atau ODP, tetapi bagi orang tanpa gejala yang memang memiliki riwayat kontak dekat dengan pasien positif.
"Tentunya kalau positif harus betul-betul disiplin untuk melakukan karantina atau isolasi mandiri. Termasuk juga karantina atau isolasi yang disediakan oleh pemerintah di daerah," jelas Doni.
Pemerintah daerah juga diminta secara tegas mencegah terjadinya kerumunan, baik dalam aktivitas olahraga, rekreasi, atau kegiatan lain yang memunculkan potensi penularan di tengah keramaian. Warga pun diminta secara penuh kesadaran menghindari untuk menetap di tengah kerumunan dan ruang tertutup dalam waktu lama.
"Presiden kan selalu katakan, tekan rem dan gas seimbang. Jadi kalau ada kasus yang meningkat silakan direm tapi bukan berarti semua kegiatan harus ditutup secara total. Dibatasi kegiatannya baik terutama untuk waktu kegiatan termasuk jumlah, aktivitas manusia yang ikut terlibat di dalamnya," katanya.