REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting mengakui adanya sejumlah kelemahan di lembanya. Hal itulah yang kemungkinan dimanfaatkan buron kasus korupsi cessie (hak tagih) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra, untuk masuk ke Indonesia.
"Dia tahu kelemahan kita, dia main di kelemahan kita itu. Kami menyadari itu," ujar Jhoni dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin (13/7).
Hal inilah yang terjadi pada pembuatan paspor Djoko Tjandra. Jhoni beralasan petugas pembuatan paspor saat itu masih muda sehingga tak mengetahui siapa itu Djoko Tjandra.
"Bukan membela lagi, tidak. Kalau kami disalahkan, kami disalahkan, kami menerima. Karena dia (petugas) masih umur 23 tahun, dia baru lulus, dia tidak kenal dengan Djoko Tjandra," ujar Jhoni.
Namun, ia menambahkan, paspor Djoko Tjandra yang dibuat pada 2007 dan 2012 tidak pernah digunakan. Itu dilihat dari tidak adanya cap dari pihak imigrasi.
"Sehingga saya mengatakan, de Jure dia di Indonesia. De Factonya mari kita bersama penegak hukum yang lain," ujar Jhoni.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Sarifuddin Sudding menilai adanya skenario terkait lolosnya Djoko Tjandra. Sebab, seorang warga negara asing yang buron seharusnya terdeteksi oleh pihak keimigrasian.
"Anehnya, seorang warga negara asing yang juga sebagai penjahat terhadap putusan hukum tetap, bisa masuk dan lolos tanpa terdeteksi oleh pihak imigrasi," ujar Sudding.
Pihak Ditjen Imigrasi dan aparat penegak hukum juga terkesan tak ada koordinasi untuk menangkap Djoko Tjandra. Apalagi mengingat kronologi masuknya dia ke Indonesia, mulai dari dihapusnya dari daftar pencarian orang (DPO) hingga memeroleh KTP elektronik.