Selasa 14 Jul 2020 08:02 WIB

Sudan Cabut Hukuman Mati Bagi Orang Murtad

Hukuman bagi orang murtad di Sudan dicabut.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Sudan Cabut Hukuman Mati bagi Orang Murtad. Foto:  Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi
Foto: .
Sudan Cabut Hukuman Mati bagi Orang Murtad. Foto: Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTUM -- Sudan telah menyetujui amandemen hukum pidana yang luas. Termasuk di dalamnya, mencabut hukuman mati karena murtad dan mengizinkan orang non-Muslim untuk minum alkohol.

Hukuman cambuk di depan umum juga akan dicabut. Perempuan Sudan tidak lagi harus membutuhkan izin dari anggota keluarga laki-laki jika ingin bepergian bersama anak-anak mereka.

Baca Juga

"Kami membatalkan Pasal 126 Hukum Pidana Sudan dan telah memastikan kebebasan beragama dan kesetaraan dalam kewarganegaraan dan aturan hukum," ujar Menteri Kehakiman Sudan, Nasredeen Abdulbari, dilansir di 5 pillars UK, Selasa (14/7).

Abdulbari menyebut, semua perubahan ini bertujuan untuk mencapai kesetaraan di depan undang-undang.  Semua pasal yang ke depannya menyebabkan segala bentuk diskriminasi, telah dihapus.

Selanjutnya, ia memastikan kepada masyarakat jika reformasi hukum akan terus dilakukan Pemerintah Sudan, sampai semua hukum yang melanggar hak asasi manusia di Sudan dihapus.

Undang-undang baru juga akan melarang mutilasi alat kelamin wanita (FGM). Sebuah praktik yang biasanya melibatkan penghapusan sebagian atau total alat kelamin eksternal perempuan dan anak perempuan.

"Mutilasi organ genital wanita dianggap sebagai kejahatan. Bagi siapapun yang melakukannya akan dihukum penjara hingga tiga tahun," kata Kementerian Kehakiman.

Menurut PBB, sekitar tiga persen dari populasi Sudan adalah non-Muslim. Minuman beralkohol telah dilarang peredarannya sejak mantan presiden Jaafar Nimeiri memperkenalkan hukum Islam pada tahun 1983.

Pengenalan hukum Islam Nimeiri merupakan katalisator yang signifikan untuk perang selama 22 tahun antara Muslim Sudan utara dan Sudan selatan yang sebagian besar Kristen, dan mengarah pada pemisahan Sudan Selatan pada 2011. Presiden Omar Al-Bashir memperpanjang hukum Islam setelah ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 1989.

Pemerintahan transisi yang dipimpin oleh Abdalla Hamdok sekarang, memimpin negara itu dalam koalisi yang tidak mudah dengan militer, membantu menyingkirkan Al-Bashir setelah berbulan-bulan protes massa.

Selama beberapa tahun terakhir, Sudan telah menjauh dari wilayah pengaruh Iran dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Arab Saudi dan Amerika Serikat.

Awal tahun ini, para pejabat Israel mengatakan Tel Aviv dan Sudan telah sepakat untuk bergerak ke arah menjalin hubungan normal setelah para pemimpin kedua negara bertemu di Uganda.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengadakan pembicaraan dengan Abdel Fattah al-Burhan, kepala dewan berdaulat Sudan, di Entebbe. Pemimpin Sudan mengatakan dia bertemu Netanyahu untuk melindungi keamanan nasional negaranya.

Seorang analis di Sudan, Ahhmed Kaballo mengatakan, para pemimpin negara mengambil langkah ini untuk membuktikan jika Sudan telah pindah dari Ikhwanul Muslimin yang merupakan pendukung utama hukum Syariah di negara tersebut.

"Ada puluhan ribu orang turun ke jalan dan tidak senang dengan langkah perubahan pemerintah yang dipimpin sipil. Ini adalah cara untuk menenangkan mereka tanpa secara fundamental mengubah sifat negara militer," ujarnya.

Kaballo juga menyebut, pada akhirnya konsesi kecil ini juga akan menarik investasi asing dari Barat yang akan membuatnya lebih mudah untuk melakukan bisnis.  

Sumber:

https://5pillarsuk.com/2020/07/13/sudan-drops-death-penalty-for-apostasy-allows-non-muslims-to-drink-alcohol/

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement