REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fergi Nadira, Rizky Jaramaya
Pemerintah Amerika Serikat (AS) telah meminta mahasiswa asing yang hanya mengambil kelas daring di semester musim gugur tahun pulang ke negaranya. Amerika disebut hanya akan menerima mahasiswa asing yang mengambil kelas tatap muka bisa tetap tinggal di negaranya.
Kebijakan itu tentu membuat banyak mahasiswa asing di Amerika dalam kondisi tak menentu. Batuhan Mekiker, mahasiswa PhD dari Turki yang belajar ilmu komputer di Montana State University mengatakan ia sulit memperoleh ilmu yang sedang didalaminya bila harus kembali ke negaranya.
Mahasiwa tahun ketiga dari program lima tahun pendidikannya mengatakan ingin tetap bisa belajar di AS. "Saya ingin berada di tempat di mana talenta saya dihargai," ujarnya dikutip dari AP.
Tujuh mahasiswa dari China dan Jerman yang kuliah di kampus di California mencoba menggugat kebijakan tersebut. Menurut mereka, larangan tinggal di AS jika hanya menempuh kuliah daring membahayakan kesehatan mereka dan merugikan mereka secara finansial. Pengacara publik mahasiswa tersebut, Mark Rosenbaum, mengecam kebjakan dan menilai mahasiswa asing hanya dijadikan pion dari kebijakan Presiden yang dimotivasi politik.
Natalia Afonzo, mahasiswa Brooklyn College dari Brazil, berharap kampusnya menerapkan sistem belajar hibdrida. Yaitu kombinasi belajar tatap muka dan kelas daring. Tapi ia kuatir terpapar Covid-19 jika harus menumpang kendaraan umum ke kampus.
"Saya juga tidak bisa melihat diri saya kembali ke Brazil saat ini," ujar mahasiswa bidang pendidikan tersebut. "Ini sangat tidak adil."
Kebijakan itu turut mempengaruhi WNI yang sedang belajar di Amerika. Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Washington, D.C., dan seluruh Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di AS (KJRI Chicago, Houston, Los Angeles, New York, dan San Francisco) bergerak cepat melakukan koordinasi dan menggandeng Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias) untuk merespons bersama kebijakan baru tersebut.
Koordinasi dan respons cepat ini dilakukan sebagai langkah antisipatif dan proaktif, termasuk mengkompilasi data dan memantau langsung perkembangan situasi mahasiswa Indonesia di seluruh negara baguan AS. Respons ini juga sambil memantau kebijakan yang diambil oleh kampus masing-masing di seluruh AS guna memastikan agar mahasiswa dan pelajar Indonesia di sana sedapat mungkin tidak terhambat proses studinya akibat kebijakan tersebut.
Aturan pemerintahan Donald Trump menyatakan bahwa mahasiswa asing di AS yang pada semester musim gugur tahun ini secara penuh hanya akan mengambil kelas daring saja (full online class), maka tidak diperbolehkan untuk tetap tinggal di AS. Mahasiswa dapat dikecualikan dari aturan tersebut bila mengambil kelas reguler (tatap muka atau in-person) atau kelas hybrid (kombinasi pembelajaran daring dan metode langsung di kelas).
KBRI dan seluruh KJRI di Amerika juga telah melakukan koordinasi dengan pihak-pihak terkait. Yaitu termasuk mengontak langsung pihak kampus atau sekolah, Badan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai AS (US ICE), hingga asosiasi pendidikan di AS.
"Untuk memperoleh informasi lebih lanjut sekaligus mencari solusi atas dampak pemberlakuan kebijakan baru tersebut, KBRI dan seluruh KJRI se-AS melakukan komunikasi dan koordinasi berkelanjutan dengan pihak kampus dan sekolah tempat belajar para mahasiswa Indonesia di AS," ujar Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Washington, D.C., Popy Rufaidah dalam siaran pers yang dimuat, Selasa (14/7).
Sementara itu, Koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler sekaligus Ketua Satgas Covid-19, KBRI Washington, D.C., Theodorus Satrio Nugrohi mengedepankan perlindungan WNI. Perwakilan RI se-AS akan terus memfasilitasi dan membantu mencarikan solusi terbaik bagi para pelajar dan mahasiswa Indonesia di AS.
"Kami juga mengimbau agar semua tetap tenang, selalu mengikuti perkembangan ini dari sumber-sumber resmi, dan jika membutuhkan bantuan, dapat menghubungi hotline KBRI dan KJRI se-AS yang dibuka 24 jam," terang Theodorus.
Mengingat situasi yang dinamis, koordinasi seluruh Perwakilan RI se-AS baik dengan Permias maupun berbagai pihak terkait di AS akan terus dilakukan guna memastikan agar para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di AS tidak terdampak kebijakan tersebut, baik yang terkait kelanjutan program studinya maupun status keimigrasiannya di AS.
Presiden Donald Trump memang telah mendesak pemerintah negara bagian untuk membuka kembali sekolah pada musim gugur. Trump berpendapat, beberapa sekolah ditutup bukan karena risiko pandemi virus corona namun karena alasan politik.
"Mereka pikir itu akan baik bagi mereka secara politis, jadi mereka menutup sekolah. Kami menekan gubernur dan semua orang untuk membuka sekolah," ujar Trump.
Trump mengumpulkan pejabat kesehatan dan pendidikan dari seluruh negara bagian di Gedung Putih. Pertemuan itu membahas kesiapan untuk membuka kembali sekolah pada musim gugur. Mereka berpendapat, risiko menjaga siswa belajar di rumah lebih besar daripada risiko apa pun yang terkait dengan pandemi virus corona. Menurut mereka, siswa memerlukan akses ke program layanan kesehatan mental dan perilaku.
"Kami ingin membuka kembali sekolah-sekolah. Semua orang menginginkannya. Para ibu menginginkannya, para ayah menginginkannya, anak-anak menginginkannya. Sudah waktunya untuk melakukannya," kata Trump.
Namun, rencana pembukaan kembali sekolah disambut dengan skeptis oleh sejumlah pihak. Presiden Asosiasi Pendidikan Nasional, Lily Eskelsen Garcia mengatakan, Trump tidak mampu memahami bahwa pandemi virus corona di AS semakin memburuk dan jumlah pasien yang meninggal dunia terus meningkat. Selain itu, dia menilai rencana pembukaan sekolah merupakan cara Trump untuk menarik pemilih dalam pemilihan presiden November mendatang, ketimbang memikirkan keamanan siswa.
"Pendidik tentu ingin kembali ke ruang kelas dan di kampus bersama siswa kami, tetapi kita harus melakukannya dengan cara yang aman untuk menjaga keamanan siswa, pendidik, dan masyarakat," ujar Garcia.
Trump menepis tudingan bahwa rencana pembukaan sekolah bertujuan sebagai kampanye untuk menarik pemilih dalam pemilihan presiden. Trump memuji Gubernur Florida, Ron DeSantis yang mengikuti perintah negara untuk membuka kembali sekolah pada musim gugur. Di sisi lain, Trump mengkritik Universitas Harvard karena memperpanjang kuliah online hingga musim gugur, dikutip dari AP.
Dua universitas elite AS menuntut imigrasi terkait keputusan menarik visa mahasiswa asing, karena menghadiri kuliah secara daring. Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) mengajukan gugatan terhadap Homeland Security dan Immigration and Customs Enforcement (ICE).
Penarikan visa ini adalah kecerobohan," ujar Presiden Harvard, Lawrence Bacow, dilansir BBC.
Di tengah pandemi virus corona, sebagian besar perguruan tinggi menggunakan sistem belajar mengajar secara daring. Pada Senin lalu, Harvard mengumumkan akan memperpanjang kelas daring hingga musim gugur dan hanya 40 persen mahasiswa yang masih menghadiri kelas di kampus.
Surat kabar mahasiswa Harvard, The Harvard Crimson melaporkan, gugatan tersebut diajukan ke pengadilan distrik Boston pada Rabu (8/7) pagi. Gugatan tersebut menyatakan bahwa langkah ICE telah menempatkan hampir seluruh perguruan tinggi di AS dalam kekacauan. Kebijakan itu membuat ratusan ribu mahasiswa internasional hidup tanpa pilihan pendidikan di AS.
"Kami percaya bahwa perintah ICE adalah kebijakan publik yang buruk, dan kami percaya bahwa itu adalah ilegal," kata Bacow.
Student and Exchange Visitor Program, yang dioperasikan oleh ICE, telah memperkenalkan pengecualian sementara kepada mahasiswa asing yang menghadiri kelas perkuliahan secara daring. Melalui pengecualian itu, para mahasiswa asing dapat tetap berada di AS hingga semester musim semi dan musim panas.
Namun, pengecualian tersebut tidak diperpanjang hingga tahun akademik baru. Menurut pernyataan ICE, keputusan itu memengaruhi mahasiswa yang berada di AS dengan visa F-1 dan M-1.
Menurut Chronicle of Higher Education, sekitar 9 persen universitas di AS berencana untuk memperpanjang perkuliahan secara daring di musim gugur. Senator Demokrat, Elizabeth Warren menggambarkan langkah ICE sebagai tindakan yang tidak masuk akal dan mengandung unsur xenofobia.