REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Raja Yordania, Abdullah memperingatkan bahwa rencana Israel mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki dapat memicu ketidakstabilan di Timur Tengah. Selain itu, aneksasi dapat meredupkan harapan penyelesaian konflik Arab-Israel yang telah berlangsung selama beberapa dekade.
"Setiap tindakan Israel sepihak untuk mencaplok tanah di Tepi Barat tidak dapat diterima, karena akan merusak prospek mencapai perdamaian dan stabilitas di Timur Tengah," ujar Raja Abdullah.
Raja Abdullah mengatakan hal tersebut kepada anggota parlemen Inggris dalam sebuah pertemuan virtual. Yordania telah memimpin kampanye diplomatik bersama dengan sebagian besar negara Eropa yang menentang rencana aneksasi Tepi Barat.
Dalam beberapa bulan terakhir, Raja Abdullah juga telah memperingatkan bahwa rencana aneksasi Tepi Barat dan proposal perdamaian yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) dapat menyebabkan konflik di Timur Tengah. Selain itu, hal tersebut juga dapat memberikan pukulan bagi hubungan Israel-Yordania.
Yordania telah kehilangan wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur dalam perang Arab-Israel 1967. Kedua wilayah itu kini diduduki oleh Israel. Yordania adalah negara Arab kedua setelah Mesir yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump merilis rencana perdamaian Timur Tengah untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina. Pengumuman tersebut dilakukan di Gedung Putih dan didampingi oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, tetapi tanpa kehadiran pejabat Palestina.
Dalam proposal perdamaian itu, Trump menyebut bahwa Yerusalem merupakan ibu kota Israel yang tidak terbagi dan mengakui kedaulatan Israel atas sebagian besar wilayah Tepi Barat. Rencana aneksasi Tepi Barat muncul dari proposal yang disebut sebagai kesepakatan abad ini.
Para pejabat Palestina mengatakan bahwa, di bawah rencana perdamaian Timur Tengah, Israel akan mencaplok sekitar 30 persen hingga 40 persen wilayah Tepi Barat, termasuk semua wilayah Yerusalem Timur. Palestina menginginkan wilayah Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza untuk membentuk sebuah negara yang merdeka di masa depan.
Sekitar 650.000 orang Yahudi Israel saat ini tinggal di lebih dari 100 permukiman yang dibangun sejak 1967, ketika Israel menduduki Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Hukum internasional memandang Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai "wilayah pendudukan" dan menganggap semua aktivitas pembangunan permukiman Yahudi di wilayah itu adalah ilegal.