REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pembelajaran jarak jauh (PJJ) bagi anak sekolah masih diterapkan di sebagian besar daerah di Indonesia sejak pandemi Covid-19 terjadi. Bagi anak yang sebelumnya belajar di sekolah formal, waktunya kini lebih banyak di rumah.
Orang tua dituntut kreatif dan membuat proses belajar di rumah jadi menyenangkan bagi anak. Sebab, proses pembelajaran di rumah kini memegang porsi terbesar dan menjadi sangat vital, di mana orang tua menjadi bagian dalam proses tersebut.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Technoe Institute bertajuk ‘Baiti Madrasati’ akhir pekan lalu, praktisi home schooling Wahyu Herdianto mengatakan, rumah bukan sekadar bangunan atau benda mati. Sejatinya, menurut dia, rumah berarti tentang semua yang ada di dalamnya, dari orang tua, anak hingga lingkungannya.
“Rumah adalah tempat belajar pertama dan utama,” kata dia dalam diskusi yang disiarkan langsung melalui akun Youtube Technoe Institute.
Kendati memilih ‘jalan’ home schooling untuk pendidikan putranya, Wahyu tak mempertentangkannya dengan orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah formal. Yang terpenting, kata dia, para orang tua tak lantas melepaskan pendidikan di rumah karena berasumsi telah mendelegasikannya ke guru di sekolah.
“Utama itu berarti tidak boleh ditinggalkan. Boleh belajar di mana saja, tapi rumah tidak boleh ditinggalkan sebagai tempat belajar,” ujar Wahyu.
Menurut dia, pendidikan adalah proses penggalian diri. Sebelum lahir, manusia telah melakukan semacam ijab qabul dengan Allah. Kemudian ketika lahir, dilupakan semua ijab qobul tersebut. Proses pendidikan, kata Wahyu, adalah menggali lagi tentang janji itu. Dalam proses tersebut, pedomannya adalah minat bakat dan dari hati.
Dalam diskusi yang sama, Education Specialist Technoe Institute, Marhamah, mengatakan, pendidikan adalah menciptakan manusia-manusia yang berpikir untuk lebih banyak orang. Output dari pendidikan itu adalah karakter manusia yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri, tapi banyak orang dan alam.
Marhamah yang juga memilih jalan home schooling untuk ketiga putra-putrinya ini menilai, yang terpenting bagi seorang anak adalah mempunyai karakter mumpuni. Karakter ini yang menjadi bekal baginya dalam mengarungi kehidupan nantinya. Membentuk karakter diakuinya memang tidak mudah dan butuh waktu.
Ketika anak sudah diberikan landasan karakter, lanjut Marhamah, maka anak akan adaptif terhadap pengetahuan-pengetahuan baru yang datang berikutnya. Pun juga saat anak menemukan tantangan yang lebih besar dalam kehidupannya, anak akan mudah mempelajari tantangan itu ketika landasan karakternya kuat.
“Maka pendidikan yang kami lakukan, menggarap landasannya dulu. Sorang anak harus memiliki apa untuk menjalani kehidupannya,” ujar dia.
Marhamah menambahkan, anak juga harus diberikan materi-materi bacaan yang ‘bergizi’. Untuk anak usia sekolah dasar, Marhamah merekomendasikan buku-buku yang bercerita tentang keteladanan dan tokoh-tokoh yang sarat gagasan.
“Bisa membaca kisah Rasulullah Muhammad SAW, nabi-nabi maupun tokoh-tokoh yang sarat nilai-nilai keteladanan. Membaca buku-buku bermutu yang menggugah jiwa, alih-alih LKS (lembar kerja siswa) yang kering, minim makna,” ujar dia.
Direktur Eksekutif Technoe Institute, Ardy Maulidy Navastara, mengatakan, diskusi yang diselenggarakan kali ini masih terkait dengan diskusi sebelumnya. Jika yang pertama mengangkat tema cara UMKM di masa pandemi, Technoe Institute kemudian mengangkat tema ‘sains dan agama’.
Tema kedua ini, kata Ardy, diselenggarakan agar masyarakat bisa melihat secara jernih bagaimana menyikapi dua narasi yang berkembang dan saling bertentangan terkait pandemi. “Yang ketiga, ‘Baiti Madrasati’ ini alternatif yang bisa kita tawarkan sebagai referensi orang tua terkait pendidikan anak di masa pandemi ini,” ujar dosen Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya ini.