REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyayangkan tewasnya tersangka pencabulan 305 anak di dalam sel tahanan. Tersangka yang merupakan Warga Negara Asing (WNA) asal Prancis bernama Francois Abello Camille (FAC) ini dinyatakan tewas pada Ahad (12/7) setelah dibawa ke RS Polri Kramat Jati.
"Yang kita sayangkan, sekaligus kita pertanyakan adalah kematian dari pelaku, konon tunggal, FAC ini. Kami ingin tahu monitoring di tahanan dengan kasus kekerasan seksual dengan situasi khusus itu seperti apa," kata Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah pada Republika, Selasa (14/7).
Ai mengatakan, kepolisian harus belajar dari peristiwa ini dan tidak boleh terulang lagi. Sebab, keterangan tersangka sangat dibutuhkan untuk mengetahui identitas 305 anak yang menjadi korban pencabulan.
Pemerintah sangat membutuhkan keterangan identitas korban untuk dilakukan penilaian dan perlindungan lebih jauh. Menurut Ai, saat ini polisi baru mengidentifikasi 19 orang anak, setelah pada tanggal 10 Juli 2020 teridentifikasi 17 anak. Artinya, selama empat hari proses identifikasi hanya bisa bertambah 2 orang korban.
Tentunya, akan semakin sulit untuk mengidentifikasi korban jika tidak ada keterangan dari tersangka. Ai menjelaskan, saat ini petunjuk yang dimiliki kepolisian hanyalah berasal dari data foto 305 anak di dalam laptop.
"Adakah misalnya petunjuk lainnya, karena ini kan berbasis di data laptop, bukan 305 anak ini by name by address-nya ada. Tapi memperlihatkan gambar-gambar seputar ESKA (Eksploitasi Seks Komersial Anak) yang dilakukan oleh orang ini," kata Ai.
Meskipun demikian, KPAI terus mendorong kepolisian untuk melakukan percepatan proses identifikasi. Selanjutnya, anak-anak tersebut bisa segera dijangkau untuk dilakukan perlindungan.
KPAI menyerukan agar dibentuk tim terpadu dengan respon luar biasa karena yang terjadi adalah peristiwa besar. "Artinya, butuh kekuatan ekstra berbagai pihak," kata Ai menegaskan.
Saat ini, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) menjangkau 6 anak dari 19 yang sudah teridentifikasi. Selanjutnya, Ai mengatakan, akan dilakukan asesmen untuk menentukan bentuk-bentuk perlindungan yang tepat.
Selain itu, lanjut Ai, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga sedang mencatat kerugian fisik, materi dan psikologis. "Itu yang pasti kita lihat sebagai dampak signifikan untuk anak-anak ini apakah ada trauma, karena itu tidak mudah dan tidak murah," kata dia lagi.
Berdasarkan keterangan polisi, eksploitasi pada anak dalam kasus ini dilakukan melalui cara child sex groomer, yakni pendekatan emosional dan bujuk rayu tersangka. Anak dirayu agar lebih dekat secara emosional kemudian dilakukan tindakan eksploitasi seksual.
"Anak ditawari untuk jadi Foto model, kemudian diajak ke hotel, didandanin supaya terlihat menarik dan berakhir hingga persetubuhan," kata Ai.
Di saat yang sama, Ai menjelaskan, pihaknya juga sedang menjangkau kasus kekerasan seksual lain yang dilakukan oleh WNA asal Amerika Serikat. WNA ini juga merupakan DPO FBI Amerika Serikat atas kasus kredit 722 juta dolar AS yang lolos ke Indonesia.
Tersangka berinisial RAD ini terciduk telah melakukan pencabulan kepada tiga orang, dua anak dan satu orang dewasa. Namun, Ai menjelaskan, saat ini pihaknya masih belum memeriksa kelanjutan kasusnya. Namun, KPAI telah meminta pemerintah agar melanjutkan proses hukumnya.
"Walaupun dia proses hukum yang besar yaitu kasus perbankan. Saya bilang kepada pemerintah Indonesia terutama kepolisian, bahwa kasus ini yang sudah mengganjal orang tersebut dari kasus besar ke kasus yang mungkin dia tidak pikirkan sebelumnya. Jangan sampai hilang oleh kasus besar Amerika," kata Ai.