Selasa 14 Jul 2020 21:10 WIB

Belajar Dulu Agama ke Guru, Jadi Ustadz Belakangan  

Belajar agama ke guru sangat ditekankan sebelum menyebarkan ilmu.

Belajar agama ke guru sangat ditekankan sebelum menyebarkan ilmu. Ilustrasi belajar agama ke guru.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Belajar agama ke guru sangat ditekankan sebelum menyebarkan ilmu. Ilustrasi belajar agama ke guru.

REPUBLIKA.CO.ID,  

 

Baca Juga

Oleh KH Taufik Damas, Lc MA*

  عن عبدالله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما: أن النبي صلى الله عليه وسلم قال بلِّغوا عني ولو آية، وحدِّثوا عن بني إسرائيل ولا حرَج، ومَن كذب عليَّ متعمِّدًا فليتبوَّأْ مقعدَه من النار  .رواه البخاري.

 

 

Dari Abdillah ibn Amr ibn Ash RA, “Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat. Berkisahlah tentang Bani Israel dan tidak apa-apa. Barangsiapa berdusta atas namaku, maka bersiaplah mendapatkan kursinya dari api neraka.” (HR Bukhari).

 

Hadits ini sangat populer di kalangan para penceramah anyaran. Mereka sering menjadikan hadits ini sebagai landasan “kewajiban” menyampaikan ajaran agama Islam. 

 

Sayangnya, banyak di antara mereka, mengutip hadits ini secara tidak utuh, sehingga lepas dari konteksnya. Mereka mengutipnya hanya sebatas “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat”. 

 

Inilah yang membuat mereka merasa punya otoritas (klaim kewajiban) untuk menceramahi orang lain, walaupun ilmu mereka masih sangat minim. Karena, dari apa yang mereka kutip, seolah Nabi memerintahkan kepada semua orang untuk ceramah walau modalnya cuma hafal satu ayat atau satu hadits.  

 

Kita bisa mengatakan, mereka salah besar jika menjadikan hadits ini sebagai landasan kewajiban meyampaikan “dakwah”, atau tepatnya, dijadikan landasan nafsu berceramah. Salah besar. Hadits tersebut bahkan mengandung ancaman agar orang, ketika itu, harus hati-hati dalam menyampaikan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi SAW. 

 

Nabi mengancam: “Orang yang berdusta atas nama Nabi, akan masuk neraka.” Ancaman inilah yang membuat Anas ibn Malik merasa harus menahan diri dari meriwayatkan hadits terlalu banyak. Hadits-hadits yang diriwayatkan dapat dipastikan benar-benar disabdakan Nabi. (HR Bukhari dan Muslim).

 

Kita tahu, Anas termasuk anak-anak yang sangat antusias menunggu kehadiran Nabi di Madinah dalam peristiwa Hijrah. Sejak usia sepuluh tahu, Anas sudah mendampingi Nabi di Madinah. Anas mendampingi Nabi sampai Nabi wafat. Nabi memiliki panggilan kesayangan untuk Anas: Uneis.  

 

Selanjutnya, hadits di atas merupakan perintah Nabi kepada para sahabat yang mendengarkan Nabi menyampaikan wahyu pada mereka. Tidak semua sahabat selalu ada di sisi Nabi ketika Nabi menyampaikan wahyu. Kadangkala Nabi menyampaikan wahyu di hadapan empat sahabat, sepuluh sahabat, dua puluh sahabat, dan seterusnya.  

 

Para sahabat yang mendengarkan wahyu, yang baru disampaikan diperintahkan untuk menyampaikan kepada sahabat lain yang tidak hadir (tidak mendengar). 

Dan, Rasulullah beberapa kali memesankan hal ini dalam beberapa haditsnya: “Hendaknya yang hadir (mendengar) menyampaikan kepada yang tidak hadir (tidak mendengar). Fal yuballigh asy-syahid al-ghaiba.” Inilah konteksnya.  

 

Sabda Nabi “sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” sebenarnya tidak bisa dijadikan alasan orang untuk segera ceramah, karena sabda itu terbatas dalam konteks menyampaikan wahyu dan apa adanya. Itupun bagi yang sudah paham.  

 

Jika belum paham, maka diperintahkan untuk bertanya hingga mendapatkan penjelasan yang memadai. Setelah paham, baru boleh menyampaikan. Itu dulu, di zaman Nabi, ketika wahyu masih belum lengkap dan turun dengan proses berangsur-angsur.   

photo
Sejumlah santri memaknai kitab kuning saat mengaji Kilatan Kitab di Pondok Pesantren Almiizan, Sukaraja, Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/5). - (Republika/Putra M. Akbar)

 

Sekarang wahyu (Alquran) sudah lengkap. Alquran sudah ada di rumah, kantor, sekolah, kampus, dan lain-lain: di depan mata kita. Maka, hadits di atas sudah kehilangan konteksnya. 

Jika pun hadits tersebut “dipaksakan” relevansinya, maka harus disesuaikan dengan konteks kekinian, yaitu sebagai perintah untuk belajar ilmu-ilmu agama dan mengajarkannya kepada orang lain yang tidak memahami ilmu-ilmu agama. Inilah relevansinya. Dalam Alquran ditegaskan:

 

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

 

 

"Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Hendaknya ada yang pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka, beberapa orang, untuk memperdalam pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan (mengajarkan) kepada kaumnya apabila mereka kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (QS. At-Taubah: 122)

 

Ayat ini menceritakan tentang peperangan yang tidak diikuti oleh Nabi. Perang ini disebut “sariyah”. Maka, jangan semuanya berangkat perang. Harus ada wakil (beberapa orang) dari setiap kelompok yang tetap bersama Nabi untuk memperdalam pemahaman tentang Islam.

Sehingga, ketika pasukan yang selamat kembali dari medan perang, mereka dapat belajar (bertanya) kepada mereka yang tetap belajar bersama Nabi. Dengan demikian mereka paham ajaran agama.  

 

Berdasarkan ayat ini, sebagian dari orang-orang beriman harus memperdalam ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi ad-din) baru kemudian mengajarkannya kepada orang lain (masyakarat). Harus paham betul soal agama dan ilmunya, baru ceramah, jadi ustadz, guru, kiai, ulama, dan tokoh agama.    

 

Dalam kitab Fathul Bari Syarah Sahih al-Bukhari, ada bab khusus tentang keharusan bertanya jika tidak paham.  Bab “Barangsiapa Mendengar Satu Pelajaran dan Dia Tidak Paham Maka Dia Harus Bertanya Sampai Paham” (باب مَنْ سَمِعَ شَيْئًا فَلَمْ يَفْهَمْهُ فَرَاجَعَ فِيهِ حَتَّى يَعْرِفَهُ ) 

 

Dalam bab ini, ada hadits yang diriwayatkan Aisyah RA, yang menunjukkan Aisyah tidak paham akan sabda Rasulullah, kemudian Aisyah bertanya agar mendapatkan penjelasan yang benar:

 

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ لَا تَسْمَعُ شَيْئًا لَا تَعْرِفُهُ إِلَّا رَاجَعَتْ فِيهِ حَتَّى تَعْرِفَهُ وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ حُوسِبَ عُذِّبَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَوَلَيْسَ يَقُولُ اللَّهُ تَعَالَى فَسَوْفَ يُحَاسَبُ حِسَابًا يَسِيرًا قَالَتْ فَقَالَ إِنَّمَا ذَلِكِ الْعَرْضُ وَلَكِنْ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَهْلِكْ

 

 “Jika Aisyah, istri Nabi Saw., mendengarkan sesuatu (sabda Nabi) yang ia tidak paham, ia pasti mempertanyakannya hingga ia paham.  Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Barangsiapa dihisab, sama dengan disiksa’. 

 

Aisyah lantas bertanya, ‘Bukankah Allah Ta’ala berfirman, ‘Maka dia akan dihisab dengan hisab yang ringan.’ 

Nabi menjawab, ‘Yang demikian itu (ringan) maksudnya hanya ketika diajukan untuk dihisab (al-‘ardhu). Ketika dihisabnya (dengan teliti), dia akan cilaka.” 

 

Jadi, begitulah penjelasan singkat tentang hadits yang sering dipenggal:  ”sampaikan dariku walau hanya satu ayat”. Semoga penjelasan ini bermanfaat untuk kita. Intinya: belajar dulu ilmu-ilmu agama, baru deh jadi ustadz. Paham dulu baru ngomong. Wallahu a’lam… 

 

Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nadhlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement