Rabu 15 Jul 2020 05:35 WIB

Di Mana Posisi ODP dalam Aturan Terbaru Kemenkes?

Aturan Kemenkes yang baru seolah-olah menghilangkan istilah ODP

Rep: Rizky suryarandika/ Red: Esthi Maharani
Petugas mengambil sampel swab spesimen dari hidung ODP
Foto: Antara/Fauzan
Petugas mengambil sampel swab spesimen dari hidung ODP

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia Syahrizal Syarif mengkritisi aturan terbaru Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam penanganan covid-19. Ia menilai posisi Orang Dalam Pemantauan (ODP) kini tak jelas masuk kategori mana.

Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto resmi menghapus istilah orang tanpa gejala (OTG), ODP, dan pasien dalam pengawasan (PDP) dalam kaitan orang yang terinfeksi virus corona SARS-CoV2 (Covid-19). Perubahan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian virus corona SARS-CoV2 (Covid-19) yang ditandatangani Senin (13/7).

Istilah baru dalam operasional kasus Covid-19 ialah Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, sebagai pengganti ODP, PDP dan OTG.

"Ada ketidakjelasan posisi ODP, suspek disamakan PDP, sementara tidak ada penjelasan di mana ODP. Seolah-olah istilah ODP hilang," kata Syahrizal saat dihubungi Republika, Selasa (14/7).

Dalam aturan baru Kemenkes itu, kriteria kasus suspek adalah orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal atau orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19.

Kemenkes memberi catatan, istilah PDP saat ini dikenal kembali dengan istilah kasus suspek. Kemudian kasus probable adalah suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 dan belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.

"Istilahnya suspek dan probable. Bayangannya itu selama ini suspek adalah ODP, yang probable itu PDP. Di aturan itu PDP justru suspek, lalu ODP dimana?" ujar Syahrizal.

Syahrizal berharap Kemenkes lebih teliti sebelum menerbitkan aturan tersebut yang merujuk WHO. Sehingga masyarakat dan tenaga kesehatan akan terhindar dari kerancuan.

"Harusnya ditulis ODP dan PDP masuk ke suspek, sementara probable itu untuk gejala klinis yang kritis," ucap Syahrizal.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement