Rabu 15 Jul 2020 05:16 WIB

KSAD yang Terlupakan, Oh, Maafkanlah…

Mengapa belum ada gedung Jenderal GPH Djatikusumo di Mabesad?

KSAD pertama GPH Djatikusumo.
Foto: Perpusnas
KSAD pertama GPH Djatikusumo.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika

Pagi itu cuaca cerah. Matahari terasa hangat. Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa menunjukkan kehangatan dengan kalangan pers. Ia didampingi para petinggi Markas Besar Angkatan Darat (Mabesad), berjalan mengelilingi lapangan. Melewati gedung Abdul Haris (AH) Nasution, pada pekan ketiga Juni 2020 lalu. “Beginilah suasana Mabesad sekarang,” kata Jenderal Andika Perkasa sambil menunjuk videotron yang ada di atas Gedung AH Nasution.

Di Mabesad hanya ada dua nama besar yang diabadikan ketokohannya. Mantan Panglima Besar TNI Jenderal Besar (Purnawirawan) Soedirman dibuatkan patung, persis di halaman depan Mabesad. Kemudian Jenderal Besar (Purnawirawan) AH Nasution. Diabadikan menjadi nama gedung. Gedung yang dilewati saat Jenderal Andika Perkasa bersama insan pers melakukan olahraga bersama.

Hanya ada tiga orang berpangkat Jenderal Besar TNI di Indonesia. Soedirman, AH Nasution, dan Jenderal Besar (Purnawirawan) Soeharto, Presiden ke-2 RI (1968-1998). Soeharto pun pernah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat (Pangad), sekarang disebut KSAD pada 1965 hingga 1969. Jenderal Besar atau berbintang lima adalah pangkat kehormatan diberikan oleh negara kepada tiga tokoh TNI jelang hari ulang tahun (HUT) TNI pada 5 Oktober 1997 era Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung.

Namun berbeda dengan keduanya, hingga kini Soeharto belum dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Era Presiden Sukarno disebut Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soedirman wafat pada 1950 dan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1964. AH Nasution wafat pada 2000, dan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 2008.

Hanya sekitar 10 orang jenderal AD yang mendapatkan anugerah Pahlawan Nasional. Sedangkan Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani dan kawan-kawan (dkk) korban peristiwa pengkhinatan Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965, bukan sebagai Pahlawan Nasional. Melainkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Adapun jenderal Angkatan Darat yang mendapatkan gelar Pahlawan Nasional adalah:

1.    Mantan Wakil KSAD Jenderal TNI (Anumerta) Gatot Soebroto (1962).

2.    Mantan Panglima Besar TNI Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) Soedirman (1964).

3.    Mantan Kepala Staf Umum TNI pertama Jenderal TNI (Anumerta) Oerip Soemoharjo (1964).

4.    Mantan Mendagri, Pangdam Brawijaya Mayjen TNI (Purnawirawan) Basuki Rahmat (1969).

5.    Mantan KSAD pertama Jenderal TNI (Kehormatan) GPH Djatikusumo (2002).

6.    Penasihat Presiden RI, Mayjen TNI (Purnawirawan) Prof dokter gigi Moestopo (2007).

7.    Mantan Menko Hankam/KSAB Jenderal Besar TNI (Purnawirawan) AH Nasution (2008).

8.    Mantan Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) Letjen TNI (Purnawirawan) TB Simatupang (2013).

9.    Mantan Irjenad, Asops KSAD Letjen TNI (Purnawirawan) Djamin Ginting (2014).

10.    Mantan Dubes Mesir dan Thailand, Mayjen (Purnawirawan) Mas Isman (2015).

Hanya dua KSAD

Sejak 1948 hingga kini, hanya dua mantan KSAD yang diberikan gelar Pahlawan Nasional. Ya, hanya Gusti Pangeran Haryo (GPH) Djatikusumo pada 2002, diikuti AH Nasution pada 2008. Namun menjadi aneh, hingga kini belum ada simbol yang menggunakan nama GPH Djatikusumo di Mabesad. Mengapa?

Suatu ketika dalam wawancara khusus, penulis menanyakan hal tersebut kepada KSAD Jenderal Andika Perkasa. Andika merespons dengan cepat. “Terima kasih kami sudah diingatkan. Akan kami carikan momentum yang tepat untuk menghargai jasa KSAD pertama, almarhum Pak Djatikusumo,” jawab Andika.

Ia melanjutkan, pihaknya tidak mungkin melupakan para pendahulunya, termasuk para mantan KSAD. Apalagi KSAD pertama telah meletakkan dasar untuk membangun AD sejak revolusi kemerdekaan.

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) pertama Marsekal Madya Suryadi Suryadarna, namanya diabadikan di gedung Mabesau, Cilangkap, Jakarta Timur. Kepala Polri pertama Komisaris Jenderal Said Soekanto, patungnya ada di Mabes Polri, Jakarta Selatan. Laksamana Madya Mas Pardi antara lain diabadikan di kampus Akademi Angkatan Laut (AAL) Bumimoro, Kota Surabaya. Sedangkan GPH Djatikusumo ada di gedung Pusat Pendidikan (Pusdik) Zeni AD di Kota Bogor, lembaga pendidikan yang dipimpin Kolonel senior dan Mako Pusat Zeni AD (Pusziad) di Matraman, Jakarta.

Tentu saja mengherankan belum ada nama GPH Djatikusumo di Mabesad. Di Simpang Lima Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, ada patung Djatikusumo setinggi sekitar 10 meter di depan Taman Djatikusumo. Patung berwarna cokelat tembaga itu berada di tengah Simpang Lima, pertemuan Jalan Ronggolawe dan Jalan Diponegoro.

Dia tidak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Cepu. Pada Juni 1946-Februari 1948, Djati menjabat panglima Divisi Ronggolawe. Bermarkas di Mantingan, Blora kemudian pindah ke Cepu. Pasukanya juga menghabisi sisa-sisa pemberontak PKI Muso tahun 1948.

“Almarhum bapak mengajarkan kesederhanaan dan harus dekat dengan rakyat. Rakyat pula yang membantu pasukan bapak saat perang gerilya,” kata Koosmariam Djatikusumo (70 tahun), putri dari GPH Djatikusumo suatu ketika.

Tolak kembali jadi KSAD

Di antara 10 nama Pahlawan Nasional dari AD, hanya AH Nasution dan GPH Djatikusumo yang pernah menjadi KSAD. Bahkan Djati adalah KSAD pertama pada 1948-1949. Sedangkan Nasution merupakan KSAD kedua (1949-1952) dan kelima (1955-1962).

Dalam biografi Jenderal GPH Djatikusumo, usai menjadi KSAD, ia dua kali diminta Presiden Sukarno, untuk kembali menjadi orang nomor satu di TNI AD. Pertama pada 1953, diminta kembali menjadi KSAD menggantikan Kolonel (Infanteri) Nasution. Namun, Kolonel (Zeni) Djati menolak.

Begitu pula pada 1955, dia diminta kembali menjadi KSAD menggantikan Jenderal Mayor Bambang Sugeng. Lagi-lagi Djati menolak. Jabatan itu akhirnya diserahkan kembali kepada Nasution. Padahal Nasution sudah menjadi sipil. Setelah dirinya diberhentikan dari dinas militer oleh Presiden Sukarno akibat peristiwa 17 Oktober 1952.

Turut diberhentikan pula Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), Letjen TB Simatupang. Simatupang bersama AH Nasution merupakan alumni Akademi Militer (Akmil) Belanda di Bandung (1940-1942). Nasution korps Infanteri, sedangkan Simatupang korps Zeni.  

Djati mengawali menjadi tentara saat masuk menjadi kadet Corps Opleiding voor Reserve Officieren (CORO) di Bandung. Dari lembaga pendidikan yang mencetak para perwira cadangan militer Belanda. Tentara Dai Nippon menyerbu Indonesia pada Maret 1942. Ia pun mengikuti Bo'ei Gyugun Kanbu Renseitai pendidikan calon perwira tentara suka rela Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Sekolah itu kini menjadi Pusdik Zeni AD.

Ia diminta Presiden Sukarno mengikuti Akmil di Tokyo bersama 14 pemuda Indonesia lainnya. Djati menolak. Sama seperti saat dia menolak permintaan ayahnya agar memasuki Akmil Belanda di Breda maupun Akmil Darurat Belanda di Bandung.

"Kalau lulusan Akmil Belanda, sumpahnya harus tunduk kepada Ratu dan konstitusi Belanda. Kalau lulus Akmil Jepang harus tunduk pada Kaisar Jepang. Saya tidak mau, karena mereka musuh Indonesia. Masuk CORO dan PETA, tidak ada sumpah seperti itu,” ujar Djati. Padahal kakaknya GPH Purbanagoro lulusan Akmil Breda, Belanda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement