REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Selamat Ginting/Wartawan Senior Republika
Gusti Pangeran Haryo (GPH) Djatikusumo dikenal sebagai jenderal yang sejak awal lebih memilih mendidik para perwira. Saat menjadi Panglima Divisi Panembahan Senopati (1946) dan Panglima TNI Divisi Ronggolawe (1946-1948), dia juga aktif mendidik para pelajar setingkat SMP dan SMA untuk menjadi tentara pelajar yang disiapkan memasuki pendidikan ke sekolah-sekolah militer.
Dalam pasukan Divisi Ronggolawe, antara lain terdapat Letnan Dua Sudharmono sebagai komandan pasukan Tjadangan Staf Angkatan Darat (T-SAD). Kelak Sudharmono menjadi Wakil Presiden RI. Usai menjadi KSAD, Djatikusumo turun jabatan sebagai Gubernur Akademi Militer (Akmil) Yogyakarta. Di situ, ia turut bertempur bersama taruna Akmil Yogyakarta menghadapi agresi militer Belanda di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Kolonel (Zeni) Djati yang meminta Letkol (Infanteri) Soeharto fokus di Yogyakarta menghadapi agresi militer Belanda. Kepada pasukannya, Djatikusumo mengaku sama-sama anak desa dan rakyat biasa. Padahal Djati berdarah Keraton Surakarta. Ia anak ke-23 dari Susuhunan Pakubuwono X. Tercatat sebagai Pahlawan Nasional.
Setelah menjadi Gubernur Akmil Yogyakarta di masa revolusi kemerdekaan, ia dipercaya sebagai Komandan Sekolah Staf dan Komando (Sesko) Angkatan Darat di Bandung. Turun lagi menjadi Direktur Zeni Angkatan Darat dan membangun Akademi Zeni Angkatan Darat di Bandung. Dia tidak mau merecoki TNI dan tidak bersedia 'menelan ludah' jabatan yang pernah diembannya.
Ia juga yang mengusulkan agar segera dibentuk Akmil di Magelang untuk Jurusan Tempur (Jurpur) pada 1957. “Mana ada orang mau turun jabatan dan menolak menjadi KSAD sebanyak dua kali. Saya punya prinsip. Saya memilih mengabdi bukan mencari jabatan atau pangkat,” ujar Djati suatu ketika.
Pada 1946-1948, sesungguhnya pangkat Djati sudah naik dari Kolonel menjadi Jenderal Mayor. Saat itu kepangkatan perwira tinggi mengikuti militer Belanda, hanya ada tiga pangkat jenderal, yakni Jenderal Mayor, Letnan Jenderal, dan Jenderal. Namun pada 1948 pemerintah membuat kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (Rera). Sejumlah Jenderal Mayor termasuk dirinya dan AH Nasution turun pangkat. Djati pun menjadi Kolonel (Zeni) lagi selama sembilan tahun (1949-1957). Jadi total dia menjadi Kolonel selama 10 tahun.
Barulah pada 1957 dia naik pangkat menjadi Brigadir Jenderal TNI saat menjabat Komandan Korps Zeni (Direktur Zeni Angkatan Darat). Djati memang dikenal sebagai orang teknik. Pernah kuliah di Sekolah Tinggi Teknik di Delft, Belanda, dan Institut Teknologi Bandung. Ia disekolahkan di lembaga-lembaga pendidikan Belanda, seperti Europesche Lagere School di Solo. Kemudian Hogere Burger School di Bandung, dan seterusnya ke Instituut Technologie di Delft, Belanda. Ia pun menguasai bahasa Inggris dan Belanda dengan fasih.
Komandan tempur
Kemampuan bahasa, teknik, militer, pribadinya yang merakyat, serta pergaulan internasionalnya membuat Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh Hatta menunjuknya menjadi KSAD pertama. Hal ini menjadi jembatan bagi Sukarno dan Hatta dalam berkomunikasi dengan Panglima Besar Soedirman.
Soedirman pun senantiasa didampingi Djatikusumo jika menghadap Presiden Sukarno. Djati pula yang ditunjuk menjadi pemimpin perundingan dengan pimpinan tentara Belanda maupun Inggris. Termasuk menghadapi utusan Panglima Militer Amerika Serikat di Pasifik.
Ia bukan sekadar guru di depan kelas, namun komandan pertempuran di medan laga. Ia membangun batalyon Zeni sebagaimana layaknya batalyon Infanteri. Dengan pangkat Brigadir Jenderal TNI, ia pimpin Batalyon Taruna Zeni (Yontarzi) sebagai pasukan Infanteri dalam pertempuran melawan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat maupun Sumatra Utara.
Yontarzi terdiri dari taruna Akademi Zeni abituren 1959-1960-1961. Dalam pasukan itu, antara lain Sermatutar Try Sutrisno (pernah menjadi Wapres RI, Panglima ABRI, dan KSAD), Sermadatar Sudibyo (terakhir Letjen TNI sebagai Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara), dan serta Sersan Taruna Pierre Tendean (Pahlawan Revolusi tahun 1965).
Akibat operasi berkepanjangan, Sermatutar Try Sutrisno dan kawan-kawan (dkk) yang seharusnya dilantik pada tahun 1959 diundur beberapa bulan kemudian. Mereka baru dilantik dalam Prasetya Perwira (Praspa) oleh Presiden Sukarno pada 1960 menjadi Letda (Zeni). Djati menginginkan taruna Akmil memiliki pengalaman tempur selama menjadi taruna. Para taruna itu dilantik sudah menggunakan tanda jasa Satyalancana Sapta Marga. Sebagai Komandan Korps Zeni, ia merangkap menjadi Koordinator Operasi Militer di Sumatra.
Brigjen Djatikusuomo berbagi front pertempuran bersama Kolonel (Infanteri) Ahmad Yani di Sumatra. Djatikusumo pun menbantu Kolonel (Infanteri) Djamin Ginting menuntaskan pergolakan PRRI di Sumatra Utara melawan pasukan Kolonel (Infanteri) Mauludin Simbolon. Djati pun dipercaya menjadi Ketua Tim Pengatur Penempatan Kontingen Pasukan Garuda pada United Nations Emergency Forces (UNEF) pada 1958.
Diplomat ulung
Pada 1959, Brigjen Djati ditarik dari Konsul Jenderal RI menjadi menteri. Pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal TNI sebagai Menteri Muda Perhubungan Darat, Pos, Telegraf dan Telepon pada Kabinet Kerja I (1959-1960). Ia dipercaya lagi menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telegraf, dan Telepon pada Kabinet Kerja II (1960-1962). Dipercaya lagi menjadi Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata pada Kabinet Kerja III (1962-1963).
Saat hubungan Indonesia dengan Malaysia mulai memanas, Presiden Sukarno membutuhkan diplomat yang paham strategi militer. Ia menarik Djatikusumo dari jabatan menteri. Sukarno menaikkan pangkat Djati menjadi Letnan Jenderal TNI. Sukarno beralasan, karena Djati punya pengalaman sebagai Konsul Jenderal RI di Singapura merangkap di Serawak, Sabah, dan Brunei Darussalam (1958-1959).
Siuasi semakin memanas, Djati pun ditarik pulang ke Indonesia. Ia diminta membantu Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal AH Nasution. Pangkat Djatikusumo yang Letnan Jenderal TNI membuatnya menjabat Deputi I Menko Hankam/KSAB.
Sebelum peristiwa Gerakan 30 September (G30S)/PKI tahun 1965, ia sudah mendapatkan tugas baru menjadi Duta Besar Kerajaan Maroko. Setahun kemudian, menjadi Duta Besar di Prancis dan Spanyol. Merangkap sebagai Kepala Perwakilan Tetap PBB pada UNESCO (1966-1969).
Presiden Soeharto kemudian menarik seniornya itu ke Mabesad pada 1969. Ia menjadi staf khusus KSAD Jenderal Maraden Panggabean dan KSAD Jenderal Umar Wirahadikusuma. Ia tidak tersinggung harus menjadi staf khusus dua bekas juniornya di AD.
Penasihat Soeharto
Usai pensiun pada Agustus 1972, ia tetap tidak bisa melepaskan diri dari TNI. Djati aktif di Persatuan Purnawirawan ABRI. Presiden Soeharto memintanya menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung pada 1979-1993. Kemudian anggota Tim P-7 atau Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila.
Djati pensiun pada 1972 dengan pangkat Letnan Jenderal TNI. Dua puluh tahun kemudian pada 4 Juli 1992, Djati wafat dalam usia 75 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta akibat serangan jantung. Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Sudharmono melayat ke rumah duka. Sudharmono merupakan anak didik Djati saat di Divisi Ronggolawe.
Anak didik lainnya, Jenderal Try Sutrisno yang kala itu menjadi Panglima ABRI memimpin upacara penghormatan terakhir pemakaman KSAD pertama itu. Djati dimakamkan di Imogiri, makam keluarga raja-raja Jawa. Lima tahun kemudian, pada November 1997, Presiden Soeharto memberikan penghargaan untuk para mantan KSAD.
Soeharto memberikan kenaikan pangkat kehormatan satu tingkat lebih tinggi kepada Jenderal (Kehormatan) GPH Djatikusumo, Letjen (Kehormatan) Bambang Sugeng, dan Letjen (Kehormatan) Bambang Utoyo. Selain itu juga kepada Jenderal (Kehormatan) Sarwo Edhie Wibowo, bekas Dubes RI di Korea Selatan.
Itulah sekelumit kisah The Boy General, julukan pers asing terhadap Jenderal Djatikusumo yang memiliki postur kecil dan baby face. Seorang militer, guru, teknokrat, dipmomat ulung, dan pahlawan nasional. KSAD pertama, namun namanya belum diabadikan di Mabesad.