Rabu 15 Jul 2020 08:09 WIB

Pahala Berdagang

Berdagang sejatinya untuk mendapat ridha Allah SWT.

Pedagang menjajakan dagangannya dari atas perahu di Pasar Terapung Lok Baintan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Senin (15/6/2020).  (Foto ilustrasi)
Foto: ANTARA/Bayu Pratama S
Pedagang menjajakan dagangannya dari atas perahu di Pasar Terapung Lok Baintan, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Senin (15/6/2020). (Foto ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr KH Syamsul Yakin MA

Pahala berdagang itu sangat fenomenal. Tentu bagi pedagang yang jujur dan amanah. Nabi SAW bersabda, “Pedagang yang senantiasa jujur lagi amanah akan bersama para nabi, orang-orang yang selalu jujur dan orang-orang yang mati syahid.” ((HR. Turmudzi). Berdagang adalah mencari keuntungan dari komoditas yang dijual secara suka sama suka.

Tertoreh dalam tinta emas sejarah bahwa para nabi, para sahabat Nabi SAW, para ulama dari semenjak awal hingga kontemporer menafkahi diri dan anak-isteri mereka dengan berdagang. Nabi SAW mengajarkan, “Dan tidaklah seseorang menafkahi dirinya, istrinya, anaknya dan pembantunya melainkan itu  dihitung sebagai sedekah.” (HR. Ibnu Majah). 

Bahkan bukan kebetulan kalau ayat di dalam Alquran  yang terpanjang adalah soal utang dan perdagangan. Allah SWT berfirman, “…Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli …” (QS. al-Baqarah/2: 282). Inilah bukti bahwa Islam peka terhadap urusan administrasi, ekonomi dan kesejahteraan umat, lengkap dengan standar moral yang berlaku.

Sebagai standar moral praksis berdagang, Nabi SAW mengajari, “Apabila berbicara tidak bohong, diberi amanah tidak khianat, berjanji tidak mengingkari, membeli tidak mencela,  menjual tidak berlebihan (dalam menaikkan harga), berutang tidak menunda-nunda pelunasan dan saat menagih tidak memperberat orang yang kesulitan” (HR. Baihaki). 

Nabi SAW sendiri digelari al-Amin (yang terpercara) oleh orang-orang kafir Quraisy sejak masa remaja, di antaranya karena terkait dengan kejujuran beliau dalam berdagang dan menjaga titipan. Setelah Nabi SAW menerima wahyu dan memiliki pengikut, barulah orang-orang kafir memusuhi beliau karena merasa tersaingi secara teologis, ekonomis, dan politis.

Ketika Nabi SAW hijrah ke Madinah dalam keadaan tidak memiliki harta disambut oleh orang-orang Yahudi dengan embargo ekonomi. Orang-orang Islam dihalang-halangi untuk berdagang. Tujuannya adalah agar orang-orang Islam semakin lemah, miskin dan mereka keluar dari agama Islam. Beruntunglah ada kaum Anshar yang menjadi penolong saat itu.

Bagi para pedagang, Nabi SAW memberikan jaminan mendapatkan rezeki terbaik. Ini terungakap dari cerita  Rafi bin Khadij, “Ada seseorang bertanya kepada Nabi SAW, “Penghasilan apakah yang paling baik, ya Rasulullah?” Beliau menjawab,  “Penghasilan seseorang dari jerih payah tangannya sendiri dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad).

Dalam sejarah, penghasilan yang terbaik di antaranya adalah yang terbanyak seperti yang didapat oleh Khadijah dan Abdurrahman bin Auf sebagai pedagang besar. Namun mereka mendapatkannya bukan dengan melakukan praktik monopoli, monopsoni, oligopoli, kartel,  dumping, dan tender sandiwara. Berdagang sejatinya untuk mendapat ridha Allah SWT.

Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya para pedagang (pengusaha) akan dibangkitkan pada hari kiamat sebagai para penjahat kecuali pedagang yang bertakwa kepada Allah, berbuat baik dan jujur.” (HR. Tirmidzi). Berdasar informasi ini, posisi para pedagang ada yang sangat dekat dengan Allah SWT dan ada yang sangat berbahaya karena disamakan dengan para penjahat.

Saatnya kita membangun semangat wirausaha. Kemuliaan muslim salah satunya terletak pada harta dan kekayaannya. Apalagi dalam sejumlah ibadah seperti zakat, haji, dan kurban meniscayakan seorang muslim menjadi orang kaya. Dakwah Nabi SAW dapat sukses,  karena beliau didampingi oleh Khadijah,  isteri mulia, sang pedagang yang kaya raya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement