Rabu 15 Jul 2020 13:52 WIB

Suhu di Jakarta Naik 1,6 Derajat Selama 150 Tahun

Potensi hujan ekstrem di Jakarta naik 14 persen akibat penambahan suhu 1 derajat.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Dwi Murdaningsih
Hujan deras/ilustrasi
Foto: Flickr
Hujan deras/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memantau tingginya kenaikan suhu di Jakarta sebagai indikator suhu Indonesia. Kenaikan suhu di Jakarta ternyata tak jauh beda dari prediksi Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) di mana kenaikan suhu global rata-rata tahunan dalam lima tahun mendatang sekitar 1derajat C.

Peneliti BMKG menelusuri bukti perubahan iklim dengan menggunakan data suhu di Jakarta hasil pengamatan sejak zaman Belanda (selama 150 tahun). Hasilnya menunjukkan peningkatan suhu rata-rata yang signifikan di Jakarta, yaitu 1,6 derajat C dari 1866 hingga 2012.

Baca Juga

"Laju peningkatan ini cukup dapat dibandingkan dengan hasil analisis WMO, yaitu kenaikan suhu global sebesar 1,1 derajat C terhadap zaman pra-industri (1850-1900) sebagai garis dasar periode acuan perubahan iklim global," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Herizal dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (15/7).

Selain itu, data 130 tahun di Jakarta menunjukkan sekalipun rata-rata curah hujan tahunan relatif sama, bahkan menurun, namun frekuensi hujan ekstrem justru meningkat. Sekitar 10 persen intensitas hujan tertinggi di Jakarta (di atas 100 mm per hari) telah meningkat 14 persen akibat penambahan suhu per 1 derajat celcius.

"Tren cuaca ekstrem juga meningkat, ditandai dengan peningkatan frekuensi dan skala bencana hidrometeorologi," ucap Herizal.

Di sisi lain, catatan iklim BMKG menunjukkan tahun 2019 merupakan tahun terpanas kedua setelah 2016 di Indonesia. Suhu pada tahun 2019 mengalami peningkatan 0.84 derajat C di atas rata-rata iklim 1981-2000. Saat itu, emisi gas rumah kaca (GRK) terukur di Stasiun GAW BMKG Kototabang terus meningkat mencapai 408,2 ppm meskipun masih relatif lebih rendah dari GRK global.

"Sedangkan, jumlah kejadian bencana hidrometeorologi terus bertambah mencapai 3.362 kejadian," ujar Herizal.

Herizal mengingatkan suhu bumi yang terus memanas berdampak pada lingkungan, seperti memicu perubahan pola hujan dan peningkatan cuaca ekstrem. Di Indonesia, secara umum perubahan pola hujan itu ditandai oleh peningkatan hujan di daerah utara katulistiwa yang menyebabkan iklimnya cenderung semakin basah.

"Sementara di selatan khatulistiwa cenderung kering. Namun di banyak tempat ditemukan bukti bahwa hujan dalam kategori ekstrem terus meningkat kejadiannya," ungkap Herizal.

Diketahui, WMO memantau pada 2019 lalu, suhu rata-rata bumi sudah lebih dari 1,0 derajat C di atas periode praindustri. Periode lima tahun terakhir (2014-2019) adalah lima tahun terhangat dalam sejarah catatan data meteorologi. Hal itu menjadi tantangan memenuhi target Perjanjian Perubahan Iklim Paris untuk menjaga kenaikan suhu global abad ini jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dan untuk mengejar ambisi upaya membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat C pada tahun 2030.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement