Rabu 15 Jul 2020 15:05 WIB

Salon Kecantikan di Pakistan Pekerjakan Korban Air Keras

Korban selamat serangan air keras selama ini kerap dianggap sebagai orang buangan.

Rep: Puti Almas/ Red: Dwi Murdaningsih
Salon kecantikan. ilustrasi
Foto: AP
Salon kecantikan. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, ISLAMABAD — Margaret Heera terlihat sibuk melayani pelanggan yang tiba di salon kecantikan, tempatnya bekerja di Lahore, Pakistan. Ia sedang menata rambut salah satu pelanggan perempuan yang meminta untuk membuat gaya yang rumit.

Bagi Heera, dapat bekerja di salon kecantikan seperti saat ini adalah hal yang sangat berarti. Perempuan berusia 29 tahun itu merupakan korban serangan air keras. Hari-harinya sejak insiden tersebut tidaklah mudah.

Baca Juga

Suatu hari pada 2013, Heera dikurung oleh suaminya di sebuah ruangan. Tak lama kemudian, ia mendapat siraman air keras berupa asam sulfat ke bagian wajah dan tubuhnya.

Kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi hanya karena suami Heera yang mempersoalkan mas kawin pernikahan mereka. Setiap tahunnya, tak sedikit perempuan di Pakistan yang terkena serangan air keras meski undang-undang yang bertujuan mencegah kejahatan ini telah ada di negara itu.

Heera merasa beruntung salon bernama Depilex tempatnya bekerja tak ragu untuk memberikan dirinya cara untuk mencari nafkah. Korban selamat dari serangan air keras selama ini kerap dijauhi dan diabaikan oleh masyarakat, bahkan terkadang diperlakukan sebagai orang buangan.

“Pada awalnya, banyak pelanggan di salon yang terkejut melihat saya. Ada yang kemudian tak mau, tapi sekarang semua baik-baik saja, semua sangat mendukung,” ujar Heera, dilansir The Guardian, Selasa (14/7).

Heera mengatakan ingin menjadi perempuan mandiri dan berusaha memberikan yang terbaik bagi pendidikan putranya. Salon tempatnya bekerja, Depilex selama ini terkenal sebagai tempat yang menerima para korban serangan air keras untuk bekerja.

Dibangun pada 1980 oleh seorang pengusaha bernama Masarrat Misbah, Depilex memiliki cabang salon di seluruh wilayah Pakistan. Pada 2005, Yayasan Depilex Smileagain kemudian didirikan untuk mendukung korban luka bakar, terutama yang selamat dari serangan air keras, dengan operasi rekonstruktif, konseling, pelatihan kejuruan, dan pekerjaan di salonnya.

Abdiya Shaheen, manajer program Smileagain, mengatakan bahwa dari 750 wanita yang terdaftar di yayasan, 460 adalah yang selamat dari serangan air keras. Kebanyakan pelaku serangan adalah laki-laki. Insiden dinilai kerap terjadi karena perempuan dianggap menghindari tradisi gender, sebagai contoh adalah menolak proposal pernikahan.

Kaum Hawa juga kerap mendapat serangan air keras karena melahirkan anak perempuan. Undang-undang untuk mencegah kekerasan ini dikeluarkan di Pakistan pada 2011, yang mengancam pelaku dengan hukuman minimal 14 tahun penjara dan maksimal seumur hidup, serta denda mencapai 1 juta rupee.

Selain Heera, ada Sabra Sultana, manajer salon Depilex di Jhelum, yang merupakan korban serangan air keras pada 1993 oleh suaminya akibat perselisihan mahar. Ia telah membawa kasus itu ke pengadilan, meski belum ada undang-undang yang mengatur kejahatan itu. Saat itu, ia justru dituduh tidak stabil secara mental dan suaminya pun dibebaskan dari hukuman.

Sultana, yang mulai berlatih sebagai ahli kecantikan pada 2006, mengatakan dia sekarang menjalani kehidupan dengan caranya sendiri dan mendukung para penyintas lainnya. Ia mengatakan begitu banyak orang yang telah dihancurkan, tetapi mereka berjuang sekarang.

”Tidak pernah ada kata terlambat,” kata Sultana menambahkan.

Menurut data yang dikumpulkan oleh LSM the Acid Survivors Foundation (ASF), antara 2007 dan 2018 ada 1.485 kasus serangan air keras yang dilaporkan di Pakistan. Sekitar sepertiga anak-anak yang terlibat percikan dengan asam ketika anggota keluarga diserang.

Pada 2019, sebanyqak 80 serangan air keras dilaporkan. Jumlah ini cukup mengalami penurunan 50 persen, sejak 2014. Namun, meski penurunan dalam kasus dilihat oleh beberapa orang sebagai bukti bahwa undang-undang itu efektif, tak sedikit juga meyakini bahwa banyak insiden yang tidak dilaporkan.

Salah satu alasan tingginya jumlah kasus adalah sulitnya mengontrol penjualan asam, yang digunakan untuk pertanian kapas, industri utama di Punjab. Produk kapas menyumbang 10 persen dari PDB Pakistan.

Pada 2012, otoritas Pakistan memutuskan bahwa serangan air keras akan dituntut di pengadilan yang awalnya didirikan untuk mengadili tersangka teror. Pengadilan khusus ini digunakan untuk mempercepat proses hukum dan mengirim pesan kuat tentang pentingnya pemerintah mengakhiri insiden serupa.

ASF menilai langkah tersebut berhasil. Namun, pihak berwenang tetap perlu berbuat lebih banyak. Saat ini, yayasan tersebut terus mencoba memastikan penyediaan layanan medis dan rehabilitasi gratis untuk penyerang dan korban, serta mengembangkan mekanisme pemantauan dan pendanaan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement