REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tahun ajaran baru Indonesia resmi dimulai di tengah-tengah pandemi Covid-19. Sayangnya, sebagian besar sekolah di Indonesia yang harus memiliki kemampuan pencegahan penularan virus, masih belum ramah lingkungan.
Dosen Program Studi teknik Lingkungan Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Hijrah Purnama Putra mengatakan, sekolah merupakan proses. Proses bagi yang ingin belajar, dukungan keluarga, fasilitas, lingkungan tempat tinggal, motivasi, finansial, dan lain-lain.
Data Kemendikbud 2018, jumlah sekolah 217.586, guru 2,7 juta jiwa, dan murid 45,5 juta siswa. Menurut Hijrah, setiap orang per hari menghasilkan 0,5 kilogram sampah, jika dikali komunitas, sekolah per hari menghasilkan 29,9 ton sampah.
"Bayangkan seperti Bandara Soekarno Hatta yang dijejer, ini baru sampah dari sekolah, belum dari rumah, kantor, pasar, dan sebagainya. Artinya, aktivitas yang kita lakukan dapat berdampak ke lingkungan," kata Hijrah, dalam webinar yang digelar Prodi Teknik Lingkungan UII, CETS UII, dan Bukit Daur Ulang Project B Indonesia.
Kebutuhan air tiap orang sehari sekitar 100 liter, jika dikalikan komunitas sekolah sehari bisa menghabiskan enam juta meter kubik. Karenanya, perlu adanya dukungan dari tiap warga sekolah, baik guru, siswa, maupun pegawai sekolah.
Hijrah menuturkan, ada beberapa manfaat sekolah ramah lingkungan. Mulai mengubah perilaku warga sekolah untuk budaya pelestarian lingkungan, meningkatkan efisiensi dalam operasional sekolah, sampai menerapkan penghematan sumber daya.
Itu dilakukan lewat pengurangan sumber daya dan energi, meningkatkan kondisi belajar mengajar yang lebih nyaman dan kondusif bagi seluruh warga sekolah. Selain itu, mampu menciptakan kondisi kebersamaan bagi seluruh warga sekolah.
"Bahkan, dapat menghindari risiko dampak lingkungan di wilayah sekolah, serta menjadi tempat pembelajaran generasi muda tentang pemeliharaan dan pengelolaan ligkungan hidup yang baik dan benar," ujar Hijrah.
Hijrah mengungkapkan, paradigma lama siklus air itu tidak lain secepat-cepatnya menuju sungai atau laut. Sedangkan, paradigma baru siklus air merupakan kemampuan selama-lamanya air bertahan di permukiman.
Untuk mendapatkan, perlu inovasi, kreativitas, kemauan, dan nilai-nilai cinta lingkungan dan mendesain pengurangan air sebanyaknya dibanding pengembalian ke alam. Sebab, 70-80 persen penggunaan air bersih akan menjadi air limbah.
Diterangkan, 97 persen air di Indonesia dari air laut yang sampai kini pemanfaatan dikonsumsi masih rendah dan butuh biaya besar mengolahnya. Untuk menciptakan sekolah ramah lingkungan, ada beberapa langkah dalam aspek air.
"Ada tindakan preventif atau membujuk dan tindakan men-treatment atau terdapat masalah lalu dilakukan solusi," kata Hijrah.
Tindakan preventif bisa dilakukan dengan sosialisasi hemat air, stiker hemat air, keran otomatis, shower, closet double flush, pelampung air otomatis, pemilihan waktu penyiraman tanaman, dan meteran untuk menggunakan air tanah.
Sedangkan, solusi perawatan antara lain bisa dilakukan dengan biopori, sumur resapan, tangki air hujan, aro-drainage, pemisahan antara grey dan black water, oli trap dan bak kontrol, plumbing dengan sistem recycle water.
"Sekolah menjadi tempat paling efektif melatih hemat air. Mandi dengan air shower menghemat 30-40 persen air dibandingkan air gayung," ujarnya.
Mewujudkan sekolah ramah lingkungan dapat dilakukan dengan menghemat energi listrik. Langkah yang dilakukan pertama kali dengan audit energi mulai dari barang elektronik yang digunakan apa saja dan digunakan berapa lama.
Lalu, biaya per bulan berapa, dayanya berapa, dan lain-lain. Diperhatikan pula jenis bolam lampu yang digunakan, sebab kadang sama terang tapi beda watt, dan semakin tinggi watt semakin banyak menghabiskan daya energi.
"Selain bolam lampu, ketika membeli AC disesuaikan dengan kondisi luas ruangan," kata Hijrah.
Kemudian, menaikan suhu AC satu derajat saja dapat menghemat listrik 3-5 persen. Terkait sampah, sekolah harus bisa memilah tiap jenis sampah dan setelah dipilah jangan sampai dicampur lagi oleh petugas kebersihan.
Selain itu, sekolah harus kurangi penggunaan barang atau produk yang nantinya susah untuk didaur ulang. Jadi, sampah dari sekolah diangkat sampai tempat pengolahan akhir, jangan bersih di tempat sendiri tapi masalah di tempat lain.