REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menggelar pembicaraan dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas melalui sambungan telepon pada Selasa malam (14/7). Dalam kesempatan itu, dia menegaskan kembali tentang sikap oposisi Inggris terhadap rencana Israel menganeksasi bagian dari Tepi Barat yang diduduki.
"Mr Johnson menegaskan kembali komitmen Inggris untuk solusi dua negara dan oposisi kami terhadap proposal aneksasi di Tepi Barat," kata juru bicara Downing Street dilansir dari The National, Rabu (15/7).
Johnson juga meminta Abbas terlibat dalam negosiasi dan menawarkan dukungan Inggris untuk mendorong dialog. Kedua pemimpin negara itu sepakat terus bekerja sama dalam masalah rencana aneksasi Israel dan hal lainnya.
Di surat kabar Israel, Johnson memberikan tanggapan soal rencana aneksasi Israel dan menyebutnya sebagai pelanggaran hukum internasional. Negara-negara Eropa lainnya, termasuk Prancis dan Jerman, juga telah menyatakan penentangan mereka terhadap rencana aneksasi, yang semula mulai berlaku pada awal Juli ini.
Namun, 1 Juli telah berlalu dan belum menunjukkan adanya aneksasi yang dilakukan Israel di Tepi Barat. Hal ini memunculkan spekulasi rencana tersebut kemungkinan tidak berjalan. Para menteri Israel mengatakan mereka masih menyelesaikan perincian untuk pencaplokan bulan ini.
Rencana Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memperpanjang kedaulatan negaranya didasarkan pada dorongan pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada Januari lalu. Sejauh ini, sekitar 2,1 juta hingga tiga juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat. Sebanyak 430 ribu orang Yahudi Israel juga menetap di sana di pemukiman ilegal.
Berdasarkan ketentuan rencana perdamaian Timur Tengah pemerintahan Trump, AS memberikan pengakuan atas permukiman Yahudi Israel sebagai bagian dari Israel. Padahal dibangun di atas tanah yang dicari orang Palestina untuk masa depan negaranya. Usulan Washington soal 30 persen Tepi Barat di bawah kendali permanen Israel, telah ditolak keras oleh Palestina.