REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Tinggi Negeri DKI Jakarta ikut membantu upaya penangkapan Djoko Tjandra atau Joko Sugiarto Tjandra, buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali. "Ketika kami mendapat laporan dari pimpinan, spontan langsung berupaya menangkap yang bersangkutan," kata Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri DKI Jakarta Asri Agus Putra di Jakarta, Rabu (15/7).
Asri mengatakan Djoko Tjandra merupakan buronan Kejaksaan Agung yang sudah terpidana, ketika telah divonis atau memiliki kekuatan hukum tetap lalu kabur dan melarikan diri ke luar negeri. "Sejak itu kita lakukan pengejaran," katanya.
Menurut Asri, sejak ada informasi Djoko Tjandra mengajukan Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada tanggal 8 Juni 2020, sejak itu pula Kejati DKI Jakarta bersama jajaran Kejari lainnya berusaha untuk menangkapnya. Tidak hanya itu, lanjut Asri, sejak adanya upaya PK yang diajukan Djoko Tjandra, Kejati DKI juga melakukan koordinasi dengan instansi terkait yang kompeten terkait keluar masuk buronan Kejaksaan Agung tersebut dari Indonesia.
"Semua upaya yang kita lakukan terlapor kepada pimpinan," kata Asri.
Djoko Tjandra pada 8 Juni 2020 diketahui telah mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Djoko Tjandra telah kabur dari Indonesia sejak 2009 dan terakhir telah menjadi warga negara PapuaNugini.
Sebelum mengajukan PK, Djoko Tjandra terlebih dahulu mengurus KTP elektronik di Kelurahan Grogol, Jakarta Selatan. Imbas dari terbitnya KTP-el tersebut, Lurah Grogol Selatan Asep Subahan dinonaktifkan dari jabatannya, dan kasus tersebut tengah diselidiki oleh Inspektorat DKI Jakarta.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan pelayanan penerbitan KTP elektronik bagi warga DKI Jakarta secara lebih cepat karena ketersediaan blanko KTP yang dilengkapi dengan sistem yang baik dan jaringan yang kuat.
Namun perlu diketahui pula, sistem Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi di Indonesia, termasuk di Provinsi DKI Jakarta, tidak tersambung atau terintegrasi dengan Kementerian Hukum dan HAM, dalam hal ini Direktorat Administrasi Hukum Umum dan Imigrasi. Sesuai kewenangan integrasi sistem instansi vertikal, berada di Kementerian Hukum dan HAM dengan Kemendagri sehingga pemerintah daerah belum mampu melaksanakan pengawasan terhadap mobilitas penduduk antarnegara dan tidak mendapatkan pemberitahuan terkait status kenegaraan seseorang.