REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, posisi utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang meningkat pada tahun lalu perlu menjadi alarm konsolidasi fiskal.
Peningkatan rasio utang ini menunjukkan, penambahan jumlah utang lebih besar dibandingkan peningkatan PDB, Artinya, argumen yang mengatakan bahwa utang digunakan untuk sektor produktivitas dapat terbantahkan. "Buktinya pertumbuhan ekonomi stagnan level lima persen," kata Yusuf saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/7).
Yusuf menyebutkan, tren posisi utang terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Dalam jangka panjang, peningkatan tersebut harus menjadi perhatian dan alarm. Apalagi, dalam dua tahun ke depan, utang pemerintah berpotensi meningkat seiring kenaikan kebutuhan belanja negara yang akibat Covid-19 dan masa pemulihan ekonomi.
Dengan kondisi ini, Yusuf menekankan, pemerintah perlu mengatur strategi, terutama untuk pembiayaan anggaran, Idealnya, pemerintah perlu menggali sumber penerimaan pajak. Khususnya, penerimaan pajak orang pribadi non-karyawan.
Yusuf menjelaskan, upaya tersebut perlu dilakukan pemerintah agar tambahan utang pemerintah tidak begitu besar karena penerimaan negara yang diprediksi masih minim sampai dua tahun mendatang.
Kalaupun akhirnya pemerintah harus melakukan utang, Yusuf menuturkan, pemerintah perlu memaksimalkan pembiayaan utang dalam negeri melalui penerbitan surat utang ritel. "Saya kira dengan proporsi penduduk muda yang masih besar, bisa dijadikan sebagai potensial investor dari surat utang pemerintah," tuturnya.
Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti besaran utang pemerintah yang pada tahun lalu mencapai 30,23 persen dari PDB. Angka ini lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun sebelumnya, 29,81 persen terhadap PDB.
Nilai pokok tas utang pemerintah sendiri sampai akhir 2019 mencapai Rp 4.786 triliun. Sebanyak 58 persen di antaranya atau sekitar Rp 2.783 triliun merupakan utang luar negeri. Sedangkan, 42 persen sisanya adalah utang dalam negeri yang senilai Rp 2.002 triliun.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, pemerintah harus memperhatikan risiko fiskal dalam jangka panjang dengan tingkat utang tersebut. Termasuk potensi rasio utang yang melebihi target dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu 60 persen terhadap PDB.
"Pemerintah perlu untuk memperhatikan risiko fiskal dalam jangka panjang yang disebabkan tidak tercapainya rasio utang terhadap PDB, rasio defisit terhadap PDB dan keseimbangan primer positif sebagaimana ditetapkan RPJMN 2014-2019," kata Agung dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (14/7).